Contoh Konflik Destruktif (Disfungsional) dan Konflik Konstruktif (Fungsional)



A.   Konflik Destruktif dan Konflik Fungsional

Konflik berasal dari kata kerja  Latin  configere  yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sementara itu, Robbins dalam bukunya, “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
1.   Konflik Fungsional/Konstruktif (Functional Conflict)
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
2.   Konflik Disfungsional/Destruktif  (Dysfunctional Conflict)
Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

          1. Konflik Destruktif (Konflik Poso)

1.1. Latar Belakang Konflik
Konflik di Poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatarbelakang agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen.  Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
1.2. Masalah yang Dikonflikan
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku.Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama Islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam, bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh oleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Di wilayah Poso kota, keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang  berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengatakan bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa diruntut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu.
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keislaman kuat, hampir selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.
1.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditempuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino pada tanggal 20 Desember 2001.
Deklarasi Malino ditandatangani oleh kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
1.      Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.      Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukkum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.      Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4.      Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.      Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.      Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, dating dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7.      Semua hak-hak kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah sebagaimana adanya, sebelum konfilk dan perselisihan berlangsung.
8.      Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9.      Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10.  Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk Undang-Undang maupun dalam Peraturan Pemerintah dan ketentuan lainnya.

Akan tetapi deklarasi itu tampaknya tidak mampu menyulap keadaan Poso menjadi lebih kondusif. Tak lama kemudian, deklarasi Malino seperti mengalami proses deregulasi, dihancurkan sendi-sendinya dan konflik kembali mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan pada Jum’at, 10 Maret 2006 pukul 07.45 WITA ledakan bom terjadi lagi, kini di kompleks Pura Agung Jagadnata, Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi tengah. Komando Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso yang sudah beberapa waktu lalu dibentuk tak bisa melakukan antisipasi dini sehingga bom tetap meletus.

      Senin 22 Januari 2007, situasi di kota Poso kembali memanas. Sekitar pukul 08.30 WITA terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Dari sinilah terlihat adanya pergeseran isu konflik, dari agama menuju konflik antara aparat dengan warga.


2.      Konflik Fungsional (Konflik Antara Produsen Mie Instan : PT. Indofood (Indonesia) dengan Presiden Food (Taiwan))

2.1. Latar Belakang Konflik
Suka atau tidak suka harus diakui bahwa produk mie instan asal Indonesia khususnya produk Indomie memang sangat disukai oleh masyarakat. Di samping harganya terjangkau, mie ini juga memiliki cita rasa yang lezat dan mengundang selera serta higienis.
Oleh sebab itu, tidak heran jika produk mie instan Indomie mampu merambah pasar internasional, tak terkecuali negara Taiwan. Mungkin saja, karena kehadiran produk mie instan Indonesia yang diproduksi oleh PT. Indofood di Taiwan, membuat produsen mie instan lokal Taiwan (Presiden Food) yang merajai pasaran mie instan di negaranya menjadi tersaingi dan akhirnya membuat omzet penjualan perusahaannya turun drastis.

2.2. Masalah yang Dikonflikan
Karena panik dan terdesak, produsen mie instan lokal di Taiwan kemudian berusaha membuat berbagai macam cara termasuk rekayasa untuk menyingkirkan Indomie dari pasaran lokal Taiwan, antara lain dengan mencari-cari kelemahan mutu produk Indomie bahkan berusaha ‘menzholimi/memfitnah’ dengan cara-cara yang tidak menjunjung etika bisnis, membuat alasan bahwa Indomie mengandung zat yang merusak kesehatan manusia (methyl phydroxybenzoate) dimana zat tersebut dilarang dikonsumsi/digunakan di negaranya.
Puncaknya pada tanggal 9 Juni 2010, Food and Drugs Administration (FDA) Taiwan melayangkan surat teguran kepada Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan karena produk Indomie disenyalir tidak sesuai dengan persyaratan FDA.
Dalam surat tersebut dilampirkan pemeriksaan produk Indomie dari Januari - 20 Mei 2010 perihal terdapatnya bahan pengawet dalam bumbu Indomie goreng dan saus barbeque yang tidak diizinkan di Taiwan

2.3. Upaya yang Telah Dilakukan
Franciscus Welirang (direktur PT. Indofood Sukses Makmur) menyatakan bahwa produknya selalu menyesuaikan persyaratan dan peraturan yang berlaku di negara Taiwan. Indomie sendiri menurut Franciscus memiliki dua jenis label yaitu Indomie untuk ekspor dan domestik.
Pada tanggal 2 Juli 2010 dilakukan pertemuan antara Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan dan Importir tunggal Indomie di Taiwan untuk merencanakan Nota Kesepahaman. Pada kesempatan itu Mendag RI meminta Taiwan untuk memberikan klarifikasi terutama tentang adanya dua standar yang berbeda tetapi kedua-duanya diakui secara internasional dan produk yang memenuhi standar tersebut aman untuk dikonsumsi. Selain itu, produk yang masuk melalui jalur distribusi Indofood sudah memenuhi standar Taiwan.
Pihaknya juga meminta kerja sama otoritas Taiwan untuk memperlakukan isu tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam perdagangan internasional dan melakukan komunikasi dengan otoritas yang berkompeten untuk bidang itu. Berdasarkan rilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Produk Indomie aman dikonsumsi dan sesuai dengan standar CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara Internasional. Sementara itu, Taiwan bukanlah anggota CAC sehingga menerapkan standar yang berbeda dengan standar internasional itu, sehingga ada perbedaan standar walaupun kedua standar itu diakui sebagai standar internasional dan aman untuk konsumen. Sekretaris Jenderal kemendag, Ardiansyah Parman pada kesemptan yang sama mengatakan pada prinsipnya pemerintah mempunyai komitmen tinggi untuk melindungi keamanan konsumsi pangan.



B. Cara Penanggulangan Konflik

Berikut ini adalah beberapa cara untuk penanggulangan konflik, diantaranya:
1.      Mengetahui penyebab konflik. Hal pertama dan paling penting dilakukan dalam penyelesaian konflik adalah memahami dengan jelas penyebab spesifik dari konflik. Perlu diketahui bahwa penyebab terbesar untuk kegagalan penyelesaian konflik adalah kegagalan untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab sebenarnya dari konflik.

2.      Memahami intesitas konflik. Setelah kita mengetahui sebab utama konflik, selanjutnya perlu memahami tingkat intensitas. Yang Pertama, bagaimana masing-masing pihak yang berkepentingan mempunyai keinginan dalam menyelesaikan konflik? Proses penyelesaian konflik hanya akan berjalan jika kedua peserta bersedia untuk mengatasi konflik. Kedua, bagaimana fleksibelitas akan masing-masing pihak selama proses penyelesaian konflik? Apabila kedua pihak lebih fleksibel maka semakin besar kemungkinan mencapai "win-win" hasil dimana resolusi saling memuaskan dapat ditemukan.

3.   Memilih strategi untuk memecahkan konflik. Berdasarkan Kreitner (1995), Ada lima strategi dasar dalam mengatasi konflik, masing-masing mengarah ke hasil tertentu yaitu :
a.   Integrating (Problem Solving) dirancang untuk membantu para pihak yang berkonflik bekerja sama untuk menemukan solusi saling menguntungkan untuk masalah sehingga setiap orang puas dengan hasilnya.
b.   Dominating merupakan strategi di mana salah satu pihak yang bertikai mencoba untuk "memenangkan" konflik dengan memaksa solusi nya di sisi lain. Dalam hal ini, salah satu pihak mendapatkan apa yang mereka inginkan (dan menang) sedangkan pihak lain tidak (dan kehilangan).
c.   Obliging (Bersedia Membantu) justru sebaliknya. Di sini, salah satu pihak yang berkonflik bersedia mengorbankan hasil yang mereka inginkan dan menyerah pada pihak yang bersengketa lain. Hal ini lebih penting bagi mereka untuk menjaga keharmonisan dan menjaga hubungan utuh.
d.   Avoiding, strategi ini berfokus pada menghindari konflik sama sekali. Para pihak tidak melakukan apa pun untuk menyelesaikan konflik dan karena itu orang tidak mungkin untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan (sehingga kedua kalah).
e.   Compromising, strategi ini adalah setiap pihak saling memberi dan menerima untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah. Namun hasilnya tidak akan efektif kalau membawa ke sesuatu yang tidak meyakinkan.

       Selain cara untuk menangani konflik terdapat interaksi-interaksi pada strategi mengatasi konflik yaitu:

1.  Interaksi Win-Win
Berpikir Menang-Menang merupakan sikap hidup, suatu kerangka berpikir yang menyatakan : “Saya dapat menang, dan demikian juga Anda, kita bisa menang”. Berpikir Menang-Menang merupakan dasar untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang dimulai dengan kepercayaan bahwa kita adalah setara, tidak ada yang di bawah ataupun di atas orang lain. Hidup bukanlah kompetisi. Mungkin kita memang menjumpai bahwa dunia bisnis, sekolah, keluarga, olah raga adalah dunia yang penuh kompetisi, tetapi sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan dunia kompetisi. Hidup sebenarnya adalah relasi dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang bukanlah berpikir tentang Menang-Kalah, Kalah-Menang, atau pun Kalah –Kalah.

2.  Win-Lose (Menang – Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam interaksi ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan. Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk :
a.  Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau pun fisik, untuk   kepentingan diri.
b.  Mencoba untuk berada di atas orang lain.
c.  Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
d. Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
e.  Iri dan dengki ketika orang lain berhasil.

3.  Lose–Lose  (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang, lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri. Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam interaksi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.
          Ruble and Thomas (2008) mengidentifikasi lima gaya penanganan konflik yaitu: (1) Forcing; (2) Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5) Accomodating.

1)   Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik, dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan fisik, tanggapan atas isu remeh, tidak berpengaruh terhadap kesempatan untuk mencapai tujuan, atau rumitnya situasi yang membutuhkan solusi. Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan diyakini akan terluka akibat proses penyelesaian konflik. Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan selesai. Berlebihannya penggunaan gaya ini justru mendorong munculnya konflik internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang lainpun cenderung meremehkan si penghindar. Penghindaran masalah biasanya bukan malah menyelesaikan masalah melainkan justru menambahnya. Semakin lama kita menunggu konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.

2)   Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseorang dalam mencapai kepentingannya, tatkala hasilnya tidak penting, atau tatkala ada keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan. Keuntungan gaya akomodasi adalah, hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara yang bisa diterima orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang lebih baik. Berlebihannya penggunaan gaya ini cenderung memberi kesempatan orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator.

3)  Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya mendapat setengah dari total kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, tatkala pihak lain menolak berkolaborasi (kerjasama), tatkala pencapaian sasaran secara mutlak tidak penting, atau tatkala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja. Keuntungan gaya ini adalah, konflik diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara. Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif, seperti keputusan yang tidak optimal. Berlebihannya penggunaan gaya ini membuat orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.

4)   Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, berfokus diri sendiri, adanya pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kooperatif guna mencapai tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir pihak lain menjadi korban, pihak lain menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial dalam hubungan. Keuntungan gaya Forcing adalah keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar, ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain.

5)  Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif yang memuaskan semua pihak. Keuntungan gaya ini adalah kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya.
            Selain lima gaya penanganan konflik menurut Ruble dan Thomas terdapat tabel gaya dan situasi konflik  yang cocok untuk menanganinya menurut Hayes yakni :
Gaya Penanganan Konflik
Situasi yang Cocok
Forcing
·         Kala tindakan yang tegas dan cepat adalah vital – darurat.
· Pada isu penting dimana tindakan tidak populer butuh untu diterapkan – pemangkasan anggaran, menerapkan aturan yang tidak populer.
·         Pada isu vital demi kesejahteraan perusahaan dan si pelaku benar.
·     Melawan orang yang ambil keuntungan lewat cara tidak kompetitif.
Collaborating
·         Guna menemukan solusi integratif kala kedua kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan.
·         Kala tujuan kita untuk belajar.
·         Melebuh pandangan dari orang dari aneka sudut pandang.
·         Beroleh komitmen lewat inkorporasi kepentingan ke dalam kesepakatan.
Compromising
·         Kala tujuan adalah penting, tetapi tidak mementingkan cara yang terlalu tegas.
·         Kala musuh dengan kekuasaan setara berkomitmen pada sasarannya sendiri-sendiri.
·         Mencapai penyelesaian sementara atas isu-isu yang rumit.
·         Mendatangkan solusi cerdik dalam tekanan waktu.
·         Sebagai cadangan kala collaborating dan forcing tidak berhasil.
Avoiding
·         Kala isu sepele, atau isu penting lain menunggu untuk diselesaikan.
·         Kala anda menganggap tiada kesempatan memuaskan kepentingan sendiri.
·         Kala efek merusak lebih tinggi dari resolusi yang mungkin dihasilkan.
·         Mengizinkan orang untuk cooling down dan beroleh kembali cara pandang.
·         Kala pengumpulan informasi lebih penting ketimbang memutuskan segera.
·         Kala orang lain bisa menyelesaikan konflik lebih efektif.
·          Kala isu hanya sekadar persinggungan atau simptom dari isu lain. 
Accomodating
·         Kala anda merasa diri anda salah – mengizinkan posisi yang lebih baik untuk didengar, dipelajari, dan menunjukkan alasan kamu.
·         Kala isu lebih penting bagi orang lain dibandingkan diri anda sendiri – memuaskan orang dan memelihara kerjasama.
·         Membangun kredit sosial untuk digunakan nantinya.
·         Meminimalkan kehilangan kala kita sedang tidak fokus.
·         Kala harmoni dan stabilitas lebih penting.
·         Mengizinkan bawahan mengembangkan pemelajaran dari kesalahan.

0 Response to "Contoh Konflik Destruktif (Disfungsional) dan Konflik Konstruktif (Fungsional)"

Post a Comment