Saat ini Indonesia
mengalami sebuah masalah besar terkait dengan korupsi. Hampir setiap hari kita
membaca dalam surat
kabar tentang kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara. Setelah
terjadinya pergeseran Indonesia
menjadi demokrasi lebih dari satu dekade yang lalu, banyak yang tergoda untuk
bertanya apakah kasus korupsi yang merajalela selama periode ini sebenarnya
adalah buah dari demokrasi. Bukti menunjukkan bahwa demokrasi menciptakan
korupsi yang lebih berbahaya lagi dibandingkan rezim otoriter. Sebuah
penelitian oleh Olson (2002) dari Eropa Timur mencatat era komunis menemukan
bahwa angka kasus korupsi meningkat di negara-negara demokrasi baru.
Olson tidak
membicarakan hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan secara langsung.
Penelitiannya hanya berupa pertanyaan sederhana mengapa kesejahteraan tidak
mengikuti jatuhnya sebuah pemerintahan yang buruk (kekluasaan komunis).
Alasannya adalah perubahan politik dari komunis ke demokrasi di negara-negara tersebut
hanya merubah tipe korupsinya atau menurut istilah Olson, perubahan dari “penjahat
yang diam” menjadi “penjahat yang berkeliling”.
Seorang penjahat
yang diam mengacu pada korupsi dalam rezim komunis. Penjahat yang diam tahu
mereka akan berkuasa untuk jangka waktu yang lama. Mereka menjual perlindungan
kepada para penjahat yang lebih kecil berkat monopoli kekuasaan mereka. Namun,
ketika rezim berubah menjadi demokrasi, tipe penjahat berubah menjadi yang
berkeliling, yang lebih membahayakan dibandingkan dengan yang diam. Penjahat
yang berkeliling menyadari bahwa mereka mempunyai waktu yang sedikit untuk
berkuasa dikarenakan demokrasi itu sendiri, yang akhirnya mereka melakukan
praktek-praktek korupsi secara besar-basaran ketika mereka berkuasa.
Demokrasi
mendorong perilaku rent seeking
(penambahan pendapatan yang bukan berasal dari aktifitas ekonomi yang mereka
lakukan) di kalangan pengusaha dan para politisi. Para
politisi membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu dan pengusaha memberikan
dana yang dibutuhkan oleh para politisi. Setelah para politisi terpilih, mereka
membayar kembali uang/dana tersebut kepada pengusaha dalam bentuk keistimewaan
dan keuntungan-keuntungan dari kebijakan negara. Sebagai akibatnya, para
politisi yang terpilih tidak mempedulikan kepentingan dari orang-orang yang
telah memilih mereka, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pelayanan
kesehatan dan pendidikan.
Mereka hanya
berpikir bagaimana caranya untuk membayar biaya selama proses pemilu. Kenyataan
ini bukanlah sebuah demokrasi melainkan pluktorasi; istilah dari Aristoteles
yang mengacu pada dominasi orang-orang kaya di dalam mengendalikan
pemerintahan.
Pengaruh lain
dari rent seeking adalah
oligarki. Indonesia
setelah rezim otoriter, menunjukkan bahwa sebagian besar elit politik dan para
pemimpin hanya fokus pada perang argumen satu sama lain dan bagaimana cara memperoleh
kekuasaan daripada memikirkan bagaimana cara untuk membangun perekonomian Indonesia.
Hadiz dan
Robinson (2004) menunjukkan bahwa demokrasi yang sebenarnya tidak pernah
terjadi lagi setelah era Soeharto. Kekuatan oligarki bisnis mengambil kontrol
lebih besar atas politik Indonesia
dibandingkan dengan yang dilakukan para politisi dan masyarakat sipil itu
sendiri , meskipun sebagian besar para pemimpin Barat memuji Indonesia
sebagai negara muslim yang menerapkan sistem demokrasi terbesar.
Beberapa sarjana
berpendapat bahwa media bebas menempatkan pemerintah dibawah kendali publik
dengan demikian dapat menciptakan transparansi.
Bagaimanapun juga,
di negara-negara demokratis media dianggap bagian dari industri. Dalam
demokrasi, sebuah media yang bebas tidak benar-benar berperan sebagai ”anjing
penjaga” pemerintahan.
Tidak ada media
yang benar-benar bebas. Media hanya mengikuti kepentingan politik dari
pemiliknya. Jika pemiliknya adalah bagian dari koalisi pemerintah, mereka tidak
akan melaporkan isu-isu yang dapat membahayakan kredibilitas pemerintah seperti
skandal korupsi yang melibatkan para politisi terkait dengan partai koalisi
yang berkuasa.
Di lain pihak,
jika mereka adalah bagian dari oposisi, mereka akan membesar-besarkan isu-isu
tersebut untuk menyerang kredibilitas pemerintah. Dalam keadaan ini, media yang
berkuasa (kuat dalam modal) akan membingkai sebuah opini publik, terutama
isu-isu pembangunan. Media juga ikut berpengaruh dalam pembangunan opini dan
pandangan para pemilih dalam kaitannya dengan kandidat dan partai yang akan
mereka pilih adalah kandidat dan partai terbaik.
Dalam hegemoni
media ini, pengusaha Silvio Berlusconi dapat memenangkan posisi puncak di
Italia. Akhirnya, keadaan ini menjadi alasan mengapa di negara-negara demokrasi
baru adanya supremasi hukum itu sangatlah penting. Meskipun di beberapa kasus
lembaga penegak hukum selalu berada di bawah kendali system otoriter.
Inilah alasan
mengapa reformis harus membentuk sebuah institusi yang baru dan kuat, seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Unsur
yang paling berharga dari KPK adalah kemampuannya untuk menangkap para
koruptor. Sebuah lembaga penegak hukum yang kuat seperti KPK akan menjadi
tidsak berguna jika tidak didukung dengan kekuataan untuk memberantas korupsi.
0 Response to "Demokrasi dan Korupsi di Indonesia"
Post a Comment