A. Mengelola Konflik dan Negoisasi
Individu-individu maupun kelompok-kelompok yang saling tergantung harus menciptakan hubungan kerja yang melampaui batasan-batasan organisasi agar setiap organisasi dapat menunjukkan kinerja yang efektif , baik antar individu maupun antar kelompok. Individu-individu dan kelompok-kelompok dapat saling tergantung satu sama lain dalam hal informasi, bantuan, ataupun tindakan terkoodinasi. Tapi faktanya adalah mereka saling membutuhkan. Ketergantungan seperti ini dapat meningkatkan kerja sama maupun konflik.
Sebagai contoh,
eksekutif bidang produksi dan pemasaran sebuah perusahaan dapat saja bertemu
untuk mendiskusikan cara menghadapi pesaing luar negeri. Pertemuan seperti itu
bisa saja berlangsung tanpa adaya konflik. Keputusan dibuat, strategi
dirancang, dan para eksekutif kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Dalam
kasus ini,didapati adanya kerja sama antar kelompok untuk mencapai sebuah
tujuan. Di sisi lain, hal serupa mungkin tidak terjadi dalam dalam situasi
menurunnya penjualan karena perusahaan tidak menawarkan cukup variasi pada lini
produk yang dijual pada konsumen. Departemen pemasaran mengharapkan adanya lini
produk yang jauh lebih bervariasi sehingga konsumen memiliki lebih banyak
pilihan, sedangkan departemen produksi
mengharapkan sebaliknya, untuk memastikan biaya produksi berada pada tingkat
yang dapat dikontrol dan untuk meningkatkan produktivitas. Konflik sangat
mungkin terjadi karena setiap departemen memiliki tujuan yang berbeda, tujuan
yang dalam kasus ini saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok bisa
saja bekerja sama pada satu tindakan dan saling bertentangan pada tindakan ynag
lain.
Konflik juga dapat
terjadi antara kelompok-kelompok yang serupa dalam organisasi yang sama.
Misalnya, Microsoft pernah mengalami konflik antar kelompok antara tim
Microsoft Office (yang merupakan tim yang mapan dalam organisasi Microsoft)
dengan tim NetDocs, sebuah tim baru dalam organisasi Microsoft yang bertugas
menyusun peranti lunak (software) inovatif. NetDocs (terdiri dari 400
karyawan) memiliki inisiatif untuk memprogram ulang konsep Office dan
menciptakan sistem berlangganan berbasis Web, yang menawarkan beberapa fungsi
yang sudah ditawarkan oleh Office, sperti pemrosesan kata dan lembar kerja.
Meskipun konflik antar kelompok terjadi (dikarenakan perusahaan harus
menggabungkan teknologi berbasis Web dengan produk Office yang sudah ada),
Microsoft memutuskan untuk mempertahankan NetDocs, kelompok baru tersebut, dan
memasukannya ke struktur organisasi Office.
3.8. Sudut Pandang Kontemporer mengenai Konflik Antar Kelompok
Pada masa lalu, para
praktisi dalam bidang organisasi bekerja dengan asumsi bahwa setiap konflik
adalah buruk, dan karenanya harus disingkirkan. Sekarang kita memahami bahwa
asumsi tersebut tudak tepat. Pandangan yang lebih akurat dan terbuka menyatakan
bahwa konflik tidaklah baik atau buruk; konflik hanya tidak terhindarkan. Tentu
saja, terlalu banyak konflik memiliki dampak negatif karena menguras waktu dan
sumber daya organisasi, dan menghabiskan energi yang seharusnya bisa digunakan
untuk kegiatan yang lebih konstruktif. Namun di sisi lain, terlalu sedikit
konflik juga memiliki dampak negatif karena dapat membuat karyawan menjadi
apatis atau malas. Selain itu, terlalu sedikit konflik berujung pada minimnya
stimulus untuk inoovasi dan perubahan. Bila semua hal selalu berjalan mulus,
orang-orang dalam organisasi mungkin terjebak dalam zona kenyamanan alih-alih
membuat perubahan-perubahan yang dapat meningkatkan efektifitas organisasi
Meski demikian, benar
juga bahwa beberapa konflik tidak menghasilkan hal-hal yang positif sama
sekali. Namun, situasi-situasi konflik dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan
bila digunakan sebagai instrumen perubahan atau inovasi. Sebagai contoh,
bukti-bukti menunjukkan bahwa konflik dapat meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dalam berbagai organisasi. Karena itu, topik penting dalam menghadapi
konflik sesungguhnya bukan tentang konflik itu sendiri, melainkan bagaimana
cara mengelolanya. Dalam sudut pandang ini, kita dapat mendefinisikan konflik
berdasarkan dampaknya pada organisasi. Dalam pemahaman ini, kita akan membahas
konflik fungsional maupun konflik disfungsional.
3.8.1.
Konflik Fungsional
Sebuah konflik fungsional (functional
conflict) adalah konfrontasi antar kelompok yang dapat meningkatkan dan
menguntungkan kinerja organisasi. Sebagai contoh, dua departemen dalam sebuah
rumah sakit memperdebatkan cara yang paling efisien dan paling adaptif untuk
memberikan pelayanan kesehatan pada keluarga-keluarga berpenghasilan rendah
yang tinggal di wilayah pedesaan. Kedua departemen tersebut memiliki sasaran
yang sama, namun cara yang berbeda. Apapun konflik itu, keluarga-kelurga
berpebghasilan rendah di wilayah pedesaan akan menikmati pelayanan keshatan
yang lebih baik setelah konflik diselesaikan dengan baik. Tanpa konflik semacam
itu, komitmen terhadap perubahan mungkin tidak akan muncul, dan sebagian besar
kelompok akan menjadi stagnan. Konflik fungsional dapat meningkatkan kesadaran
organisasi akan masalah-masalah yang harus diatasi, mendorong pencarian
solusi-solusi secara lebih luas dan lebih produktif, dan lazimnya memfasilitasi
perubahan yang positif, adaptif, dan inovatif.
3.8.2.
Konflik Disfungsional
Sebuah konflik disfungsional (dysfunctional
conflict) adalah setiap konfrontasi atau interaksi antar kelompok yang
membahayakan organisasi atau menghambat organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuannya. Manajemen harus mencari cara untuk menghilangkan konflik
disfungsional.
Konflik-konflik yang menguntungkan seringkali
dapat berubah menjadi konflik yang berbahaya. Pada sebgaian kasus, hampir tidak
mungkin menidentifikasi kapan persisnya konflik fungsional berubah menjadi
konflik disfungsional. Tingkat stres maupun tingkat konflik yang dapat
menciptakan sebuah pergerakan yang sehat dan positif ke arah pencapaian tujuan
pada suatu kelompok, dapat bersifat merusak dan disfungsional pada kelompok
lain (atau pada kelompok yang sama dalam waktu yang berbeda). Toleransi sebuah
kelompok terhadap stres dan konflik juga tergantung jenis organisasi tempat
mereka berada. Pabrik-pabrik perakitan kendaraan bermotor, tim-tim olahraga
profesional, dan organisasi-organisasi penanganan krisis seperti polisi dan
pemadam kebakaran memiliki perbedaan terkait kapan konflik yang fungsional
dapat berubah menjadi disfungsional, dibandingkan organisasi seperti
universitas, perusahaan penelitian dan pengembangan, dan perusahaan pemroduksi
film.
Sebuah konflik yang terjadi selama 11 tahun
antara Arthur Andersen (sebuah firma akuntansi) dan anak perusahaannya, Andersen
Consulting, akhirnya berakhir pada Agustus 2000. Konflik antar unit-unit ini
jelas bersifat disfungsional. Andersen Consulting dibentuk untuk menyediakan
strategi manajemen, prosses bisnis, manajemen perubahan, dan layanan konsultasi
teknologi, sedangkan Arthur Andersen menyediakan layanan audit, perhitungan
pajak, dan akuntansi. Kedua unit menyepakati bahwa unit yang menghasilkan
keuntungan yang lebih besar akan mentransfer hingga 15% penghasilan tahunannya
kepada unit yang menghasilkan keuntungan yang lebih kecil. Sebagai akibatnya,
Andersen Consulting yang lebih menguntungkan, membuat pembayaran kepada Arthur
Andersen setiap tahunnya.
Konflik berawal dari munculnya pernyataan
Andersen Consulting bahwa Arthur Andersen berupaya membentuk keterampilan-keterampilan
konsultasi yang sama dengan Andersen Consulting dan memperebutkan pelanggan
yang sama. Andersen Consulting kemudian meminta badan koordinasi kedua firma
ini, Ndersen Worldwide, untuk menengahi konflik ini. Konflik ini terus
berlanjut dan pada tahun 1997, Andersen Consulting mendaftarkan gugatannya ke
persidangan, dengan beragumen bahwa tindakan Arthur Andersen yang mulai
menawarkan jasa konsultasi telah melanggar kesepakatan antar unit dan berujung
pada koflik disfungsional dan kebingungan pasar.
Pada Agustus 2000, seorang arbitrator
International Chamber of Commerce memutuskan untuk memisahkan kedua unit
tersebut. Andersen Consulting harus mengubah dan melepaskan namanya (nama yang
menjadi milik Andersen Worldwide). Pada 1 Januari 2001, Amdersen Consulting
mengubah namanya menjadi Accenture. Arbitrator ini juga menetapkan bahwa
Andersen Consulting harus membayar lebih dari 1 bilyun dollar Amerika pada
Andersen Worldwide untuk dibagikan pada Arthur Andersen dan biro-biro yang ada
di bawahnya. Keputusan ICC tidak dapat diganggu gugat. Tentu saja, kedua belah
pihak menyatakan bahwa merekalah yang mendapatkan kemenangan dan tidak terbukti
bersalah. Terbentuknya firma baru ini, Accenture, sungguh pada waktu yang
tepat. Arthur Andersen (perusahaan akuntasni dan audit) dinyatakan bersalah
pada 15 Juni 2002 karena terlibat dalam skandal Enron, dan terbukti melanggar
Undang-Undang yang berlaku. Arthur Andersen dituntut langsung oleh Departemen
Kehakiman Amerika Serikat.
Kejatuhan dalam bidang legal dan finansial
perusahaan ini, serta perpecahan unit akuntansi dengan unit konsultasi
perusahaan yang lama, ternyata tidak memberikan efek efek negatif yang bertahan
lama pada Accenture, berdiri mandiri dan bebas berkompetisi dengan
perusahaan-perusahaan konsultasi lainnya di pasaran.
3.9. Konflik dan Kinerja Organisasi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, konflik
mungkin saja memiliki dampak positif ataupun negatif pada organisasi,
tergantung pada seberapa sering konflik tersebut terjadi dan bagaimana konflik
trsebut dikelola. Setiap organisasi memiliki tingkat konflik maksimum yang
masih menguntungkan-yang membantu meningkatkan kinerja yang positif. Ketika
tingkat konflik terlalu rendah, kinerja juga akan terganggu. Inovasi dan
perubahan cenderung jarang terjadi, dan organisasi mungkin memiliki kesulitan
untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah. Bila konflik tingkat rendah
terus berlanjut, keberlangsungan dan daya tahan organisasi dapat menjadi
terancam.
Di sisi lain, bila
tingkat konflik terlalu tinggi, kekacauan yang terjadi juga dapat membahayakan
keberlangsungan organisasi. Sebuah contoh yang umum adalah pecahnya serikat
pekerja menjadi fraksi-fraksi dan dampaknya pada kinerja organisasi (media
massa umumnya senang meliput hal ini). Bila pertentangan antara fraksi-fraksi
dalam serikat pekerja terlalu besar, pertentangan tersebut dapat mengurangi
efektifas serikat pekerja tersebut dalam misinya untuk meningkatkan harkat para
pekerja di perusahaan. Hubungan antara tingkat konflik antar kelompok dan
kinerja organisasi dalam tiga situasi hipotetik, sesuai pandangan kontemporer,
disajikan pada Peraga 3.3.
3.10. Tahap-Tahap Konflik
Meskipun beberapa
konflik dapat menjadi intens dan ‘meledak-ledak’ dalam sekejap, lazimnya
konflik antar kelompok berkembang dalam jangka waktu yang lama. Ketika ini
terjadi, umumnya konflik berkembang melalui beberapa tahap evolusi. Konflik
yang dipersepsikan (perceived conflict) terjadi ketika setidaknya
satu kelompok melai sadar akan kemungkinan munculnya konflik terbuka akibat
suatu situasi tertentu. Sebagai contoh, dua unit dalam organisasi yang sama
mungkin ingin mendapatkan ruangan yang sama dalam fasilitas baru kantor mereka.
Konflik yang dipersepsikan juga bisa terjadi dalam proses perencanaan anggaran
tahunan perusahaan, saat setiap departemen berupaya mendapatkan sebanyak
mungkin sumber daya yang ada, dengan konsekuensi memperkecil jatah yang diterima
departemen lainnya.
Konflik yang
dipersepsikan ini dapat menyebabkan konflik yang dirasakan (felt conflict),
namun mungkin juga tidak. Istilah ‘dirasakan’ menunjukkan adanya peningkatan
keterlibatan emosional. Konflik ini ”terasa” dalam bentuk kecemasan,
ketegangan, dan atau permusuhan. Pihak-pihak yang terlibat dapat menjadi
termotivasi untuk mengurangi emosi-emosi negatif karena perasaan-perasaan ini
menimbulkan ketidaknyamanan. Motivasi tersebut dapat menghasilkan usaha-usaha
positif ataupun negatif untuk mengatasi konflik tersebut. Umumnya, setiap pihak
yang terlibat perlu mengalami konflik, baik konflik yang dipersepsikan maupun
konflik yang dirasakan, agar mereka mendapatkan motivasi yang cukup untuk
mengupayakan suatu penyelesaian.
Peraga3.3. Hubungan Antara Konflik Antar Kelompok dan Kinerja Organisasi
Tingkat Konflik Antar Kelompok
|
Kemungkinan Dampak pada Organisasi
|
Organisasi yang Memiliki Karakter
|
Tingkat Kerja Organisasi
|
|
Situasi I
|
Rendah atau tidak ada
|
Disfungsional
|
·
Adaptasi yang lambat terhadap perubahan
lingkungan
·
Sedikit
perubahan
·
Stimulasi gagasan yang minim
·
Apati
·
Stagnasi
|
Rendah
|
Situasi II
|
Optimal
|
Fungsional
|
·
Gerakan
positif ke arah pencapaian tujuan
·
Inovasi
dan perubahan
·
Mencari
solusi permasalahan
·
Kreatifitas
dan adaptasi yang cepat terhadap perubahan lingkungan
|
Tinggi
|
Situasi III
|
Tinggi
|
Disfungsional
|
·
Gangguan
berat
·
Mengganggu
aktifitas
·
Sulit
berkoordinasi
·
Kekacauan
|
Rendah
|
Tahap terakhir adalah konflik yang termanifestasi (manifest
conflict). Konflik yang jadi dalam tahap ini. Dalam konflik
termanifesrasi tidak lagi sekedar dipersepsikan atau dirasakan, tetapi sudah
terjadi. Artinya, pada taha manifestasi, pihak-pihak yang saling berseteru
terlibat secara aktif dalam konflik. Serangan yang bersifat verbal, tertulis,
atau bahkan serangan fisik, terjadi dalam tahap ini. Dalam konflik
termanifestasi, pihak yang tidak terlibat-yang awam sekalipun-dapat melihat
adanya masalah. Walaupun kita bisa saja menyelesaikan sebuah konflik yang
termanifestasikan, jauh lebih baik bila konflik ini diselesaikan pada tahap
yang lebih awal. Di samping itu, konflik yang termanifestasi umumnya memiliki
dampak jangka panjang yang lebih lama dibandingkan konflik yang dipersepsikan
atau konflik yang dirasakan.
Setiap konflik
meninggalkan dampak atau sisa-sisa konflik yang mempengaruhi persepsi atau
perilaku kelompok sesudahnya. Umumnya, semakin dini konflik diatasi, semakin
mungkin dampak konflik justru memfasilitasi interaksi positif antara
pihak-pihak yang saling bertentangan. Walaupun konflik yang termanifestasi
dapat memiliki dampak yang menguntungkan, dampak disfungsional sebuah konflik
cenderung meningkat sejak tahap konflik dipersepsikan hingga konflik
termanifestasikan.
3.11. Penyebab Konflik Antar Kelompok
Setiap kelompok pasti
memiliki setidaknya konflik kecil dengan kelompok lain yang berinteraksi
dengannya. Kecenderungan ini dikenal sebagai “hukum konflik antar organisasi” (the
law of interorganizational conflict). Dalam sub bab ini kita akan membahas
tiga faktor penyebab konflik kelompok yang dianggap penting : ketergantungan
kerja, perbedaan tujuan, dan perbedaan persepsi.
3.11.1.
Ketergantungan Kerja
Ketergantungan kerja
(work interdependence) terjadi ketika dua (atau lebih) kelompok
organisasi harus saling bergantung satu sama lain untuk menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan mereka. Potensi konflik dalam situasi seperti ini terentang
dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi, tergantung
karakterisitik dasar ketergantungannya. Tiga jenis ketergantungan antar
kelompok yeng telah dikenali : berkelompok (pooled), berurutan (sequential),
dan resiprokal (reciprocal). Peraga 3.4.
menyediakan gambaran visual mengenai ketiga tipe ini.
Ketergantungan
berkelompok (pooled interdependence) tidak membutuhkan adanya
interaksi antar kelompok karena stiap kelompok bertugas secara terpisah. Meski
demikian, dalam situasi ini, kinerja semua kelompok menentukan seberapa sukses
organisasi yang ada. Sebagai contoh, kinerja staf sebuah kantor pemasaran IBM di
sebuah wilayah mungkin saja tidak berhubungan dengan dengan kantor pemasaran
IBM di wilayah lainnya. Serupa dengan itu, dua kantor cabang bank mungkin
memilki sedikit atau bahkan tidak ada
interaksi satu dengan yang lain. Meski demikian, dalam kedua kasus tersebut,
kelompok-kelompok yang ada saling tergantung karena setiap kelompok harus
menunjukkan kemajuan atau upaya yang cukup agar organisasi dapat maju. Potensi
konflik dalam ketergantungan seperti ini relatif rendah, dan manajemen dapat
mengandalkan peraturan dan posedur kerja standar yang dikembangkan oleh kantor
pusat untuk melakukan koordinasi.
Ketergantungan
berurutan (sequential interdependence) mensyaratkan satu kelompok
menyelesaikan tugas-tugasnya terlebih dahulu sebelu kelompok lain dapat menyelesaikan
tugasnya. Tugas-tugas ini diselesaikan dalam cara yang berurutan. Dalam sebuah
pabrik perakitan misalnya, produk-produk harus dirakit terlebih dahulu sebelum
dapat dicat. Karena itu, departemen perakitan harus menyelesaikan tugasnya
terlebih dahulu sebelum departemen pemberian warna dapa mengerjakan tugasnya
Dalam situasi
seperti in, konflik antar kelompok lebih mungkin terjadi karena hasil keluaran
(output) satu kelompok menjadi masukan (input) bagi kelompok yang
lain. Upaya mengkoordinasikan ketergantungan seperti ini melibatkan fungsi
perencanaan yang efektif dari pihak manajemen.
Ketergantungan
resiprokal (resiprocal interdependence) mensyaratkan hasil keluaran (output) setiap kelompok
berfungsi sebagai masukan (input) bagi kelompok lain dalam organisasi.
Bayangkan hubungan yang muncul antarakelompok staf anestesi, staf perawat, staf
teknis, dan tim dokter bdadah dalam sebuah tuang operasi rumah sakit. Hubungan
seperti ini menciptakan ketergantungan resiprokal (timbal balik) yang sangat tinggi.
Ketergantungan yang serupa juga terjadi pada kelompok-kelompok yang berperan
dalam peluncuran pesawat luar angkasa. Contoh lain adalah ketergantungan
anatara petugas menara kontrol di bandara, kru pesawat, petugas lapangan, dan
petugas bagian pemeliharaan. Potensi konflk sangat tinggi dalam situasi-situasi
ini. Koordinsi yang efektif membutuhkan pengguanaan proses komunikasi dan
pengamilan keputusan yang terampil dan terorganisasi dari pihak manajemen.
Setiap organisasi
memiliki ketergantungan berkelompok. Organisasi yang kompleks juga memiliki
ketergantungan berurutan. Organisasi yang paling rumit mengalami ketergantungan
berkelompok, berurutan, dan resiprokal. Semakin kompleks organisasi, semakin
besar potensi konflik yang akan dihadapi, dan semakin sulit tugas yang dihadapi
oleh manajemen.
3.11.2.
Perbedaan Sasaran
Idealnya, kelompok-kelompok yang berinteraksi akan selalu melihat
tujuan-tujuan kelompok sebagai tujuan yang saling melengkapi satu sama lain,
dan karenanya berperilaku dalam cara-cara yang mendukung pencapaian
tujuan-tujuan tersebut. Namun nyatanya, ini seringkali tidak terjadi. Beberapa
masalah terkait perbedaan tujuan dapat menciptakan masalah.
Kelompok-kelompok dengan tujuan yang sama eksklusifnya dapat
mendapati diri mereka berada dalam situasi konflik. Sebagai contoh, departemen
pemasaran umumnya memaksimalkan penjualan. Di sisi lain, departemen kredit
berupaya meminimalkan kehilangan kredit. Departemen yang dominan menentukan
jenis pelanggan yang dipilih. Contoh lainnya, sebuah departemen produksi
memilki sasaran menurunkan jumlah produksi barang yang cacat. Di sisi lain,
departemen pembelian berusaha memenuhi tujuannya dengan menurunkan biaya
produksi material, dan menghubungi penyedia yang menjual bahan material kelas
dua. Beberapa tujuan yang saling tidak cocok ini mungkin akan tampak cukup
jelas; apa yang dibutuhkan dalam situasi-situasi seperti ini adalah kesadaran
kelompok-kelompok yang saling bertentangan untuk menata kembali fokus pada
tujuan organisasi yang lebih besar.
Ketika sumber daya
yang terbatas harus dibagi antar kelompok , ketergantungan satu sama lain
seakin tinggi dan setiap perbedaan tujuan semakin nyata. Bila uang, ruang,
tenaga kerja, dan bahan material tidak terbatas, setiap kelompok dapat mengejar
tujuannya masing-masing. Tapi hampir dalam setiap kasus, sumber daya harus
dibagi atau digunakan bersama. Ketika kelompok-kelompok menyimpulkan bahwa
sumber daya telah dibagikan secara tidak adil, tekanan ke arah konflik
meningkat. Ketika sumber daya yang terbatas adalah uang, potensi konflik akan
sangat kuat. Dalam beberapa kasus, dalam setiap konfik terdapat dimensi moral
dan etis yang terlibat.
Terakhir, perbedaan
batasan waktu yang dibutuhkan oleh kelompok-kelompok untuk mencapai tujuannya
dapat menjadi sumber konflik. Para peneliti di sebuah perusahaan kimia mungkin
saja memiliki perspektif waktu pencapaian sasaran dalam hitungan tahun,
sedangkan teknisi atau para insinyur dalam perusahaan yang sama mungkin bekerja
dalam hitungan bulan. Seorang presiden direktur sebuah bank dapat memusatkan
sasaran pada 5 hingga 10 tahun ke depan, sedangkan menajer tingkat madya
mungkin berkonsentrasi pada waktu atau periode yang lebih pendek. Dengan adanya
perbedaan-perbedaan cakrawala waku seperti ini, masalah-masalah dan isu-isu
yang dianggap vital oleh satu kelompok mungkin dianggap sebagai sebuah isu yang
tidak penting bagi kelompok lain, dan konflik
dapat muncul.
3.11.3. Perbedaan Persepsi
Perbedaan tujuan dapat muncul bersamaan dengan adanya perbedaan
persepsi mengenai kenyataan dan ketidaksetujuan atas apa yang dianggap sebagai
penyebab suatu kejadian dapat menciptakan sebuah konflik. Sebagai contoh,
sebuah masalah di rumah sakit dapat dilihat dari sisi sfaf medis dan staf
perawat. Alumni dan staf pengajar dalam sebuah fakultas mungkin memiliki
persepsi yang berbeda mengenai pentingnya kemenangan dalam sebuah kompetensi
sepak bola. Banyak faktor menyebabkan kelompok-kelompok organisasi memiliki
persepsi yang berbeda mengenai kenyataan. Faktor-faktor utamanya meliputi
inkongruensi status, persepsi yang tidak akurat, dan perbedaan sudut pandang.
Konflik akibat inkongruensi
status (menyangkut status relatif kelompok-kelompok yang berbeda-beda)
lazim tejadi. Umumnya, sebuah organisasi memiliki banyak standar status yang
berbeda-beda, alih-alih hanya satu standar yang baku. Akibatnya, muncullah
banyak hierkaki status. Sebagai contoh, konflik status umumnya diciptakan oleh
pola kerja—kelompok mana yang harus memulai pekerjaan, kelompok mana yang harus
merespons. Sebuah departemen produksi misalnya dapat mempersepsikan sebuah
perubaha sebgi sesuatu yang meremehkan departemen tersebut karena mereka harus
bekerja sesuai permintaan departemen penjualan. Konflik status ini dapat
diperbesar oleh tingkah polah kelompok penjualan. Kesombongan akademis adalah
realita dalam banyak perguruan tinggi. Anggota-anggota sebuah disiplin ilmu
mungkin mempersepsikan diri mereka sebagai pemilik status yang lebih tinggi
dibandingkan orang-orang yang berasal dari disiplin ilmu lainnya.
Persepsi yang
tidak akurat seringkali menyebabkan satu kelompok mengembangkan
stereotip-stereotip mengenai kelompok lainnya. Meskipun sebenarnya perbedaan
antar kelompok yang ada tidak terlalu signifikan, setiap kelompok cenderung
melebih-lebihkannya. Karena itu, sering terdengar istilah “semua eksekutif
wanita agresif”, atau “semua petugas penjamin di bank berperilaku sama”, atau
“semua profesor berpikir bahwa mata kuliah yang mampu adalah satu-satunya mata
kuliah yang penting”. Ketika perbedaan atar kelompok ditekankan,
stereotip-stereotip menjadi semakin kuat, hubungannya menjadi melemah, dan
konflik berkembang.
Salah satu bentuk perbedaan
sudut pandang dicontohkan pada ilustrasi yang diberikan sebelumnya mengenai
alumni dan anggota fakultas yang memiliki perbedaan persepsi mengenai
pentingnya menerangkan sebuah kejuaraan sepak bola. Alumni berharap dapat
memenangkan kejuaraan sepak bola karena dapat mengangkat nama institusi ke
lapisan masyarakat. Pihak fakultas, di sisi lain memandang kejuaraan sepak bola
sebagai distraksi yang mengganggu tujuan utama sekolah, yakni menciptakan dan
menyebarkan pengetahuan. Kedua kelompok ini jelas memiliki cara pandang yang
berbeda mengenai apa yang mereka pandang paling penting. Tujuan kelompk,
pengalaman, nilai-nilai dan budaya seringkali menjadi faktor yang mempengaruhi
perbedaan cara pandang terhadap dunia. Perbedaan cara pandang yang tumbuh pada
budaya organisasi yang berbeda-beda dapat menjelaskan mengapa konflik
seringkali terjadi ketika dua perusahaan mengalami penggabungan (merger).
3.12.
Konsekuensi-konsekuensi Konflik Antar Kelompok yang Disfungsional
Para peneliti dalam area perilaku manusia telah menghabiskan waktu
lebih dari empat dekade untuk meneliti dan menganalisis bagaimana konflik antar
kelompok yang disfungsional dapat mempengaruhi orang-orang
yang berada di tengah-tengah situasi tersebut. Mereka menemukan bahwa
kelompok-kelompok yang berada dalam situasi konflik cenderung dalam cara-cara
yang dapat diprediksikan. Kita akan melihat sejumlah perubahan yang dapat
terjadi intrakelompok dan antarkelompok sebagai hasil sebuah
konflik antar kelompok yang disfungsional.
3.12.1.
Perubahan dalam Kelompok
Banyak perubahan yang mungkin terjadi dalam kelompok-kelompok yang
terlibat dalam konflik antar kelompok. Sayangnya, perubahan-perubahan ini
umumnya berdampak pada meningkatnya konflik atau berlanjutnya konflik yang
terjadi.
·
Peningkatan
Kohesivitas Kelompok
Jelas
tampak bahwa ketika kelompok-kelompok yang terlibat dalam sebuah konflik,
kohesi kelompok cenderung meningkat. Kompetensi, konflik, ataupun persepsi
ancaman dari pihak luar umumnya membuat anggota-anggota kelompok menyingkirkan
perbedaan-perbedaan individual dan pangkat. Para anggota menjadi lebih setia
pada kelompok, dan keanggotaan kelompok menjadi lebih menarik. Peningkatan
kohesivitas kelompok ini dibutuhkan untuk menggerakkan sumber daya kelompok
yang tersedia guna menghadapi “musuh” dan cenderung berdampak pada disingkirkan
atau diminimalkannya perbedaan internal. Kecenderungan munculnya kohesivitas kelompok
yang meningkat sebagai reaksi atas ancaman eksternal dapat dilihat dari Kosovo.
Kelompok-kelompok etnik yang ada di bekas negara Yoguslavia sebelumnya memiliki
sejarah yang panjang dalam menghadapi sulitnya hidup berdampingan antar
kelompok.
· Penekanan pada Kesetiaan
Kecenderungan
kelompok-kelompok untuk meningkatkan kohesivitas menunjukkan bahwa konformitas
pada norma kelompok menjadi lebih penting pada situasi-situasi konflik.
Sesungguhnya, tidak jarang kelompo-kelompok menunjukkan konformitas secara
berlebihan dalam situasi-situasi konflik. Hal ini mungkin terwujud dalam bentuk
tindakan menerima solusi-solusi disfungsional secara membabi buta dan berakhir
pada munculnya pikiran kelompok (groupthink), seperti yang didiskusikan
pada bab sebelumnya. Pada situasi-situasi seperti ini, kepuasan individual
menjadi lebih tidak penting dibandingkan tujuan-tujuan kelompok, seiring
tekanan terhadap para anggota untuk menunjukkan kesetiaannya. Dalam
konflik-konflik besar, suatu kelompok kadang ‘mengharamkan’ anggotanya bergaul
atau berinteraksi dengan anggota kelompok oposisi.
· Meningkatnya Kepemimpinan yang Otokratis
Dalam
konflik-konflik ekstrim yang dianggap mengancam, kepemimpinan yang bersifat
demokratis cenderung kurang cocok. Anggota-anggota kelompok menginginkan
pemimpin yang kuat. Ini terjadi pada demonstrasi yang dilakukan oleh para
petugas menara pengawas di landasan udara, yang dibahas di bab berikutnya.
Dunia olahraga profesional juga menyediakan sejumlah contoh, diantaranya
demonstrasi pemain futbol yang tergabung dalam National Football League Players
pada tahun 1987 dan demonstrasi pada pemain bisbol di Major League Baseball
Players Associationpadapada tahun 1994, yang berujung pada pembatalan World
Series untuk pertama kalinya dalam 90 tahun. Dalam demonstrasi ini, presiden
persatuan serikat pemain, Donald Fehr, mendapatkan otoritas yang amat besar
dari para pemain untuk melakukan apapun yang dianggap baik olehnya.
· Fokus pada Aktivitas
Ketika
sebuah kelompok berada dalam konflik, para anggotanya umumnya mengutamakan
melakukan aktifitas yang dilakukan kelompok dan hal ini umumnya dilakukan
dengan sangat baik. Kelompok tersebut menjadi lebih berfokus pada tugas.
Toleransi bagi para anggota yang “ngawur” umumnya rendah, dan kepuasan individual
diabaikan. Misi utama kelompok adalah menyelesaikan tugas yang dimiliki dan
mengalahkan “musuh” (kelompok yang lain terlibat dalam konflik).
3.12.2.
Perubahan yang Terjadi Antar Kelompok
Selama berlangsungnya konflik, umumnya akan terjadi beberapa perubahan
pada relasiantar kelompok yang terlibat.
· Persepsi yang Terdistorsi
Selama berlangsungnya konflik, persepsi
setiap anggota kelompokmenjadi terdistorsi. Anggota-anggota kelompok
mengembangkan opini-opini yang lebih kuat mengenai pentingnya unit mereka.
Setiap kelompok melihat dirinya mampu menunjukkan kinerja lebih baik
dibandingkan kelompok lainnya, dan
menganggap dirinya lebih penting bagi keberlangsungan organisasi dibandingkan
kelompok yang lain. Dalam sebuah situasi konflik, para perawat mungkin
menyimpuikan bahwa mereka lebih penting bagi pasien dibandingkan dokter,
sedangkan para dokter menganggap diri mereka lebih penting di bandingkan
pengelola rumah sakit. K elompok pemasaran dalam sebuah organisasi bisnis
mungkin berfikir,’’Tanpa kita yang menjual produk, tidak akan ada uang untuk
membayar gaji seluruh karyawan yang lain.’’ Anggota kelompok produksi mungkin
mengatakan, ‘’Kalau kita tidak membuat produk produk tersebut, tidak akan ada
barang yang dijual”. Tentu saja, tidak ada kelompok yang lebih penting dalam
situasi-situasi ini, tapi konflik dapat menyebabka para angota kelompok salah
mempersepsikan kenyataan.
· Pembentukan Stereotip yang Negatif (Negative Stereotyping)
Seiring meningkatnya konflik, dan seiring
semakin terdistorsinya persepsi, semua stereotip negatif yang mungkin pernah
muncul semakin diperkuat. Seorang perwakilan manajemen mungkin mengatakan,
‘’Saya selalu mengatakan bahwa orang-orang serikat pekerja mungkin serakah.
Sekarang mereka membuktikannya.’’ Kepala serikat pekerja lokal mungkin berkata,
‘’Sekarang kita tahu bahwa semua politisi hanya tertarik pada bagaimana caranya
dipilih kembali; bukan pada kualitas pendidikan.’’ Ketika pemberian stereotip
negatif menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi sebuah konflik, anggota-anggota
setiap kelompok melihat semakin sedikit perbedaan yang muncul dalam kelompoknya
sendiri dan semakin banyak perbedaan yang muncul pada kelompok lain, lebih
besar dibandingkan yang sebenarnya.
·
Komunikasi
yang Menurun
Komunikasi
antar kelompok yang bersengketa umumnya terganggu. Hal ini dapat bersifat
sangat fungsional, terutama ketika hubungan kerja antar kelompok adalah
ketergantungan kerja berurutan (sequential interdependence) atau
ketergantungan kerja resiprokal. Proses pengambilan keputusan dapat terganggu
dan para pelanggan atau orang lain yang dilayani oleh organisasi aka terkena
dampaknya. Coba bayangkan konsekuensi yang dialami pasien apabila konflik
antara teknisi rumah sakit dan para perawat terus berlanjut hingga menurunkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Meskipun komunikasi
yang menurun bukanlah satu-satunya konsekuensi yang bersifat disfungsional
dalam konflik antar kelompok, konsekuensi ini sangatlah umum dan telah
terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah literatur penelitian, konsekuensi
lainnya, seperti kekerasan dan agresi, muncul lebih jarang, namun tetap ada.
Terkadang juga terjadi ketegangan yang
berdampak pada munculnya kreativitas antar individu dan kelompok. Michael
Eisner, pemimpin Walt Disney, menyatakan bahwa ketegangan kreatif telah
menghasilkan aliran ide yang berjalan stabil. Dia manyatakan bahwa di Disney,
logika awam (common sense) dan konflik akan berpadu menghasilkan
kreativitas yang dibutuhkan. Tanpa konflik dan logika awam, menurut Eisner,
letupan-letupan kreativitas yang dibutuhkan untuk meghasilkan ide baru akan
hilang. Ketika konflik antar kelompok mucul, umumnya dibutuhkan beberapa bentuk
intervensi manajerial.
3.12.3.
Mengelola Konfik Antar Kelompok melalui Kesepakatan Bersama (Resolution)
Para manajer harus mempersiapkan cara-cara mengelola konflik karena
konflik-konflik antar kelompok adalah rutinitas sehari-hari mereka dalam sub
bab ini, kita akan membahas beberapa pendekatan berbeda dalam pengelolaan
konflik. Peraga 3.5.
memberikan kerangka kerja dalam bentuk sebuah matriks penyelesaian konflik,
guna membahas berbagai pendekatan yang ada. Seperti ditunjukkan figur tersebut,
salah satu cara menyelesaikan konflik adalah melihat sejauh mana kelompok yang
terlibat memilki fokus internal dan eksternal terhadap strategi resolusi yang
digunakan. Fokus internal menunjukkan sejauh mana kelompok berupaya
mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam sebuah konflik. Sebuah
fokus eksternal menunjukkan sejauh mana sebuah kelompok berupaya menyelesaikan
apa yang menjadi kepedulian atau kepentingan kelompok lain dalam konflik
tersebut.
Berdasarkan sudut pandang ini, fokus inetrnal dan eksternal
bukanlah dua titik ekstrim yang saling bersebrangan dalam satu kontinum yang
sama. Alih-alih kedua fokus itu dilihat sebagai dua dimensi yang berbeda.
Derajat yang bervariasi antara kedua dimensi ini mengakibatkan munculnya lima pendekatan
yang berbeda dalm upaya menyelesaikan konflik antar kelompok. Tergantung
karakteristik dasar konflik serta situasi-situasi yang ada, masing-masing
pendekatan ini dapat menunjukkan pendekatan yang efektif dalam mengelola
menyelesaikan konflik. Kita akan melihat pendekatan-pendekatan ini secara
terpisah.
· Mendominasi
Dalam pendekatan dominasi (domination), sebuah kelompok yang
berusaha menyelesaikan konflik memberikan fokus yang maksimal pada upaya
memenui hal-hal yang menjadi kepedulian kelompok tersebut, dan pada saat yang
bersamaan memberikan fokus yang minimal pada upaya memenuhi kepedulian kelompok
yang lain. Pendekatan dominasi cenderung berorientasi pada kekuasaan, artinya,
untuk dapat berhasil, pendekatan ini memerlukan kekuasaan yang cukup untuk
dapat ‘memaksa’ kelompok lain. Sebuah
kelompok dapat saja memilki keseimbangan kekuasaan karena kelompok ini berada
pada lapisan atas hierarki organisasi atau kelompok yang memilki sumber daya
yang penting (misalnya anggaran yang lebih, personil atau pengetahuan yang
penting), atau kelompok yang telah membentuk aliansi dengan kelompok yang
berkuasa, atau berbagai alasan lainnya.
Tidak jarang kedua
kelompok yang bersengketa berusaha menggunakan pendekatan dominasi untuk
menyelesaikan perbedaan yang ada. Yang seringkali terjadi adalah : salah satu
kelompok yang terlibat menilah kekuasaan yang ia miliki secara berlebihan.
Dalam kasus-kasus seperti ini, hasil yang diperoleh dapat bersifat negatif
untuk salah satu atau kedua kelompok. Dalam peertentangan di bidang
ketenagakerjaan, misalnya, baik pihak pengelola maupun serikat pekerja dapat
saja mengadopsi pendekatan dominasi untuk menyelesaikan perbedaan diantara
mereka. Hasil akhir penggunaan kekuasaan seperti ini dapat berbentuk unjuk rasa
berkepanjangan yang sangat merugikankedua belah pihak.
Terlepas dari berbagai
masalah potensial yang diasosiasikan dengan penggunaan dominasi sebagai cara
menyelesaikan masalah konflik terdapat beberapa situasi yang mungkin tepat dan
berguna bila kita menggunakan pendekatan dominasi ini. Ada saatnya (misalnya
saat gawat darurat) dimana perbedaan yang ada harus diselesaikan dengan cepat.
Ketika tindakan yang cepat menjadi sangat penting, pendekatan dominasi dapat
menjadi cara resolusi yang paling efektif. Tindakan yang mendominasi dapat saja
menjadi pendekatan terbaik dalm menyelesaikan isu-isu penting atau ketika
serangkaian tindakan yang tidak populer harus diambil, seperti pemutusan
hubungan kerja secara massal, implementasi jadwal kerja baru atau memaksakan
kebijakan dan prosedur kerja yang tidak sesuai hamparan pihak lain.
·
Mengakomodasi
Dalam banyak hal, akomodasi (accomodation) pendekatan yang
berlawanan dengan dominasi. Dalam pendekatan akomodai, salah satu pihak
meminimalkan upaya untuk mengutamakan kepentingan kelompoknya dan memberikan
penekanan maksimum pada kebutuhan kelompok lainnya. Walaupun akomodasi terlihat
seperti “menyerah”, ada beberapa situasi tatkala pendekatan ini menjadi
pendekatan yang sangat menguntungkan bila digunakan oleh kelompok yang
bersengketa. Isu-isu yang menjadi sumber konflik terkadang berbeda derajat
kepentingannya bagi pihak-pihak yang saling mengalami keonflik. Apabila isu ini
menjadi masalah yang penting bagi suatu kelompok dan tidak terlalu penting bagi
kelompok lainnya, maka kedua kelompok dapat menuruti keinginan kelompok pertama
melalui akomodasi. Tindakan ini tidak merugikan kelompok kedua, dapat dilihat
sebagai bentuk itikad baik, dan membantu mempertahankan hubungan yang
kooperatif anatar kedua kelompok. Pendekaan akomodasi dapat juga dianggap
sebagai membeli “piutang” yang di kemudian hari dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik-konflik selanjutnya, ketika masalah yang muncul lebih
penting bagi kelompok yang sebelumnya “mengalah”. Akibatnya, mungkin terdapat
beberapa situasi dimana upaya menjaga kedamaian dan menghindari
ketidakharmonisan berperan lebih penting dibandingkan resolusi yang
memaksimalkan kepentingan sebuah kelompok tertentu.
·
Menyelesaikan
Masalah
Pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) mungkin
mewakili apa yang secara teoritis dilihat sebagai pendekatan ideal atau terbaik
dalam usaha penyelesaian konflik. Meski demikian, pendekatan ini adalah sebuah
pendekatan yang sanagt sulit diimplementasikan secara efektif. Pendekatan
penyelesaian masalah, yang disebut juga pendekatan kolaburasi atau integrasi,
berupaya menyelesaikan konflik dengan menekankan secara maksimum kepentingan
kedua kelompok. Upaya penyelesaian masalah yang baik membutuhkan kesediaan
kedua kelompok yang bersengketa untuk bekerja sama mencari penyelesaian terpadu
yang dapat memuaskan kebutuhan semua pihak terkait. Tantangan terbesar yang
harus diatasi terlebih dahulu adalah mentalitas menang-kalah yang lazim
dimiliki kelompok-kelompok yang saling berkonflik. Hal ini penting, sebab
kemungkinan keberhasilan pendekatan penyelesaian masalah sanagt kecil kecuali
pihak-pihak yang terlibat dapat berpikir melampaui pola pikir menang-kalah.
Keuntungan potensial
penggunaan pendekatan penyelesaian masalah ini sanagt signifikan. Ketika
pihak-pihak yang saling bertentangan benar-benar berkolaborasi, mereka mungkin
mendapatkan pemahaman, pengalaman, pengetahuan, dan cara pandang baru yang
dapat menciptakan solusi-solusi yang lebih berkualitas dibandingkan solusi yang
dihasilkan pendekatan lainnya. Selain itu, komitmen untuk menjalankan
implementasi yang efektif menjadi lebih tinggi karena kepentingan kedua belah
pihak ikut dipertimbangkan dalam usaha penyelesaian masalah. Terkadang, proses
penyelesaian masalah terbantu oleh upaya kedua belah pihak yang berfokus pada
sebuah tujuan superordinat , atau tujuan yang lebih tinggi. Tujuan superordinat
(superordinat goal) adalah tujuan yang tidak dapat dicapai sendirian
oleh satu kelompok dan mencangkup semua kepentingan dan masalah setiap kelompok
yang terlibat dalam konflik. Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir ini
beberapa serikat pekerja di industri kendaraan bermotor dan baja telah setuju
untuk menunda peningkatan gaji, dan dalam beberapa kasus bahkan menerima
pengurangan gaji karena mereka mengutamakan keberlangsungan perusahaan atau
pabrik yang semakin terancam. Ketika krisis telah berlalu, tuntutan akan gaji
yang lebih tinggi tentu muncul kembali, seperti yang terjadi di Daimler
Chrysler Corporation.
· Menghindar
Seringkali,
beberapa cara dapat digunakan untuk menghindari terjadinya konflik. Walaupun
menghindari konflik (avoiding conflict) tidak akan memberikan keuntungan
jangka panjang, pendekatan ini dapat menjadi strategi yang efektif dan tepat
dalam beberapa situasi konflik, terutama saat menghindari masalah ditunjukkan
sebagai alternatif sementara. Ketika sebuah konflik menjadi sanagt memanas,
menghindari masalah untuk sementara dapat memberikan kesempatan bagi kedua
pihak yang bersengketa untuk ‘mendinginkan diri’ dan mengebalikan sudut pandang
yang objektif. Menghindari konflik juga dapat memberikan waktu ekstra untuk
mencari informasi yang tepat bagi terciptanya solusi jangka panjang. Menghindar
juga mungkin tepat digunakan ketika pihak-pihak lain berada dalam posisi yang
lebih baik untuk menyelesaikan konflik, atau ketika terdapat masalah-masalah
lebih penting lain yang harus diutamakan. Sayangnya, terlalu banyak orang yang
tergoda untuk secara berlebihan menggunakan pendekatan menghindari ini : jumlah
situasi dimana pendekatan menghindari masalah dilihat sebagai pendekatan
terbaik umumnya lebih sedikit daripada yang dapat kita bayangkan. Meskipun
demikian, sebagai alternatif sementara, menghindari masalah adalah awalan yang
berguna dalam penerapan strategi jangka panjang yang lebih baik.
· Berkompromi
Pendekatan
kompromi (compromizing) adalah metode tradisional dalam mengatasi
konflik-konflik antar kelompok. Dengan melakukan kompromi, tidak ada perbedaan
pihak yang menang dan pihak yang kalah, dan kesepkatan yang dicapai umumnya
bukan kesepakatan yang ideal bagi kedua kelompok. Komromi dapat menjadi sanagt
efektif apabila tujuan yang dicari (misalnya uang) dapat dibagikan dengan cukup
adil. Jika hal ini tidak dimungkinkan, salah satu kelompok harus merelakan
suatu yang berharga sebagai bagian kompromi.
Kompromi dapat menjadi
sangat berguna bila kedua kelompok yang bersengketa memiliki kekuasaan yang
relatif seimbang dan memilki komitmen kuat untuk mencapai tujuan yang sama-sama
eksklusif. Hal ini juga dapat menunjukkan sebuah cara untuk memperoleh
kesepakatan bersama atas suatu masalah yang sangat sulit dan kompleks. Telah
didiskusikan sebelumnya bahwa pendekatan menyelesaikan masalah adalah sesuatu
yang ideal, namun sulit dilakukan. Melakukan kompromi adalah strategi
‘cadangan’ yang baik dimana pihak-pihak yang bertentangan dapat menggunakannya
bila upaya menyelesaikan masalah tidak berhasil. Terkadang, kompromi melibatkan
pihak ketiga untuk melakukan intervensi. Intervensi seperti ini mungkin tampil
dalam bentuk meminta bantuan pada otoritas manajerial yang lebih tinggi atau
keputusan untuk menyerahkan konflik ke dalam suatu bentuk mediasi atau
arbitrase.
Kompromi adalah pendekatan yang berusaha
mencari jalan tengah. Umumnya kompromi melibatkan kerelaan berkorban lebih
banyak dibandingkan pendekatan dominasi, namun tidak sebanyak yang direlakan
dalam pendekatan akomodasi. Kompromi menghadapi masalah secara lebih langsung
dibandingkan pendekatan menghindai masalah, namun kedalaman pembahasannya tidak
sedalam pendekatan mengatasi masalah.
Kelima
pendekatan yang baru didiskusikan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing, dan dapat efektif atau tidak efektif tergantung situasinya.
Ringkasan bab initerkait konflik antar
kelompok dijabarkan pada peraga 3.6.
peraga ini menggambarkan hubungan antar penyebab dan jenis-jenis konflik,
konsekuensi-konsekuensi
konflik dan pendekatan-pendekatan yang ada untuk mengatasi sebuah konflik.
Penting untuk diingat bahwa pandangan-pandangan mengenai konflik dan pendekatan
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik akan bervariasi pada tiap-tiap
kebudayaan di dunia. Aspek-aspek penting dalam konflik akan dipersepsikan dan
diperlakukan secara berbeda pada negara yang berbeda.
3.13. Mendorong Konflik Antar
Kelompok yang Konstruktif
Sejauh ini kita telah
menekankan bahwa beberapa konflik dapat sangat menguntungkan. Hal ini pertama
kali dibahas dalam diskusi mengenai pandangan kontemporer terhadap konflik,
dan ditegaskan kembali dalam Peraga 3.6.
yang menampilkan beberapa konsekuensi fungsional konflik antar kelompok. Kita
juga telah membahas situasi dimana konflik bersifat disfungsional karena
terjadi dalam intensitas yang sangat tinggi : meski demikian kita baru membahas
sedikit tentang situasi-situasi dimna hanya sedikt konflik yang terjadi. Jika
kelompok-kelompok dalam organisasi menjadi terlena karena segala sesuatu
berjalan mulus, manajemen mungkin dapat menarik keuntungan dengan memunculkan
konflik. Kurangnya jumlah konflik dapat berakibat munculnya kinerja rendah, di
bawah titik optimal (diantaranya mencangkup kemampuan pengambilan keputusan
yang lemah).
Sejumlah penelitian
mendukung kesimpulan ini. Dalam satu penelitian, kelompok eksperimental dan
kelompok kontrol dibentuk untuk mengatasi sebuah masalah.peneliti memasukan
seorang ‘agen’ ke dalam kelompok eksperimental ; orang itu bertugas menantang pandangan mayoritas anggota saat
kelompok berusaha menemukn solusi. Peneliti tidak memasukkan orang semacam itu
dalam kelompok kontrol. Dalam setiap kasus, kelompok eksperimental menunjukkan
kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.
Walaupun kurangnya konflik dapat memberikan keuntungan jangka
pendek, kekurangan konflik dapat membuat suatu kelompok memiliki pengaruh
sangat besar terhadap kelompok lain. Sebagai contoh, para pakar yang
mempelajari gaya manajemen partisipatif di perusahaan-perusahaan Jepang
mempertanyakan apakah kurangnya konflik antar para manajer dan karyawan
(situasi yan lazim di perusahaan-perusahaan di Jepang) adalah sesuatu yang
sehat atau tidak.
Ada banyak keuntungan akibat meningkatnya taraf atau intensitas
konflik. Beberapa konflik memang dibutuhkan untuk mendorong dilakukannya
evaluasi yang mendalam terhadap kebijakan-kebijakan dan proses-proses dalam
organisasi, serta memberikan dasar untuk suatu perubahan. Kurangnya konflik
dapat menyebabkan diterimanya status quo dan menghambat terjadinya inovasi.
Meningkatnya
konflik merupakan pencegah munculnya pikiran kelompok atau groupthink
(yang telah dibahas pada bab sebelumnya). Sebagaimana ditampilkan dalam peraga 3.3.
kinerja organisasi akan menurun tidak hanya ketika tingkat konflik terlalu
tinggi, namun juga ketika tingkat konflik terlalu rendah.
Apa sajakah yang dapat
dilakukan manajemen untuk meningkatkan konflik guna mencapai
perubahan-perubahan yang fungsional? Ada empat kemunkina strategis yang bisa
dilakukan.
·
Membawa
Individu dari Luar Kelompok
Sebuah teknik yang sering digunakan untuk “menghidupkan” sebuah
organisasi atau sebuah sub unitnya yang stagnan adalah merekrut atau
mentransfer individu-individu dengan sikap, nilai-nilai, dan latar belakang
yang berbeda dengan anggota kelompok saat ini. Banyak fakultas perguruan tinggi
dengan sengaja mencari staf pengajar baru dengan latar belakang pendidikan yang
bebeda (misalnya dari universitas lain) dan seringkali tidak merekrut lulusan
fakultas itu sendiri. Langkah ini ditujukkan untuk memastikan bahwa
keanekaragaman sudut pandang tetap bersemi di fakultas.
Strategi membawa seorang
dari luar kelompok juga banyak digunakan dalam pemerintahan dan bisnis. Belum
lama ini, seorang presiden bank memutuskan untuk tidak mengangkat ‘orang dalam’
menjadi wakil presiden dalam bidang pemasaran. Sebaliknya, dia merekrut seorang
eksekutif wanita yang sangat sukses dari sebuah perusahaan fast-movingconsumer
goods (perusahaan penghasil produk sehari-hari ; yang umumnya pemasarannya
sangat kompetitif). Presiden bank tersebut yakin bahwa meskipun eksekutuf dari
luar perbankan ini mungkin hanya memliki sedikit pengetahuan tentang layanan
finansial, pendekatan serta pengetahuan yang ia miliki tentang pemasaran adalah
apa yang dibutuhkan bank tersebut untuk menjadi bank yang memiliki daya saing
tinggi.
Sears, Roebuck adalah contoh organisasi yang seharusnya dapat
meraih keuntungan dengan memancing konflik dengan membawa orang dari luar
kelompok. Selama beberapa dekade, dirinya tidak terkalahkan. Pada tahun 1980an
dan 1990an, tampak jelas bahwa Sears bukan hanya terkena ; namun telah
tertidur. Wal-Mart dan Kmart mengambil alih posisi Sears, dan sejumlah pemain
lain dalam bisnis retil ini bergerak dengan sangat cepat. Penelahaan mendalam
terhadap struktur organisasi Sears menghasilkan temuan bahwa seagian besar
manajemen senior Sears adalah karyawan lama, dan sebagian besa dari mereka
telah bekerja di Sears dan gaya manajemen. Saat karakteristik bisnis retil
berubah sangat cepat, ‘para orang tua’ di Sears ‘hanya berusaha mempertahankan
status quo’.
·
Mengubah
Struktur Organisasi
Mengubah struktur organisasi tidak hanya membantu mengatasi konflik
antar kelompok, tapi juga sempurna untuk menciptakan konflik. Sebagai contoh,
sebuah sekolah bisnis hanya memiliki sedikit departemen bawahan. Salah satu
depatemennya bernama Departemen Administrasi Niaga, yang keseluruhan stafnya
mencangkup semua dosen yang mengajar mata kuliah manajemen, pemasaran,
keuangan, dan manajemen produksi. Tentu saja, departemen ini berukuran relatif
besar dengan 32 staf di bawah seorang ketua jurusan, yang langsung
bertanggungjawab kepada dekan. Seorang dekan telah diangkat, dan dekan baru ini
mempertimbangkan pembagian departemen administrasi niaga menjadi beberapa unit
departemen (seperti departemen pemasaran, departemen keuangan, departemen
manajemen), dimana setiap departemen terdiri dari lima atau enam orang staf
pengajar dan seorang ketua jurusan. Alasan yang mendasari pertimbangannya
adalah bhwa dengan mengatur kemali organisasi seperti ini ia akan dapat
menciptakan kompetisi antar anggota untuk mendapat sumber daya, mahasiswa,
anggota pengajar, dan lain sebagainya. Kompetisi semacam itu tidak pernah
terjadi sebelumnya (karena dulu hanya terdapat satu kelompok). Apakah perubahan
ini benar-benar dapat meningkatkan kinerja memang masih harus dibuktikan.
·
Merangsang
Kompetisi
Banyak manajer menggunakan berbagai macam teknik untuk memancing
munculnya kompetisi antar kelompok. Penggunaan berbagai macam bentuk intensif,
seperti penghargaan dan bonus atau kinerja yang baik, seringkali dapat
merangsang munculnya kompetisi. Bila digunakan dengan tepat, intensif-intensif
semacam itu dapat membantu mempertahankan atmosfer kompetisi yang sehat, yang
dapat membentuk suatu konflik yang bermanfaat. Intensif dapat diberikan kepada
departemen yang paling sedikit melakukan kesalahan, yang melakukan penjualan
tertinggu, pengajaran terbaik, pencarian pelanggan baru terbanyak, atau dalam
area dimana peningkatan konflik akan menghasilkan kinerja yang efektif.
·
Menggunakan
Konflik yang Terprogram
Saat ini, semakin banyak organisasi menggunakan konflik-konflik
yang terprogram atau direncanakan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi,
dan untuk meningkatkan pengamilan keputusan yang berkualitas. Konflik yang
terprogram adalah konflik yang dengan sengaja dan sistematis diciptakan, bahkan
ketika tidak ada perbedaan yang tampak nyata dalam situasi organisasi. Konflik
yang terprogram ini merupakan ‘konflik yang meningkatkan perbedaan pendapat,
terlepas dari perasaan-perasaan pribadi para manajer’. Satu bentuk konflik
terprogram yang cukup populer adalah devil’s advocacy. Dalam devil’s
devocacy, seseorang atau beberapa kelompok ditugaskan sebagai kritikus
yang bertugas mengungkap semua kemungkinan masalah yang dapat muncul terkait
sebuah rencana atau ide. Peran devil’s advocate adalah memastikan bahwa
semua pandangan yang bertentangan dapat diikutsertakan dalam pertimbangan
sebelum final diambil.
Kebanyakan organisasi
menggunakan beberapa bentuk konflik yang terprogran. Royal Dutch Petroleum
secara rutin melakukan pendekatan devil’s advocacy. Sebelum Anheuser-
Busch mengambil sebuah keputusan penting, seperti apakah perusahaan akan
melakukan penetrasi pasar atau membangun sebuah pabrik, perusahaan ini
menugaskan beberapa kelompok untuk menjadi kritikus yang mempertanyakan segala
sisi yang meragukan. IBM telah membangun sistem yan mendorong
karyawan-karyawannya unuk memiliki pendapat yang berbeda dengan
atasan-atasannya. Semua perusahaan ini memiliki tujuan yang sama : meningkatkan
kinerja organisasi dengan cara menstimulasikan konflik.
3.14.
Negoisasi
Seringkali, bagian penting dalam proses
penyelesaian sebuah konflik melibatkan terjadinya negosiasi. Negosiasi dapat
dilihat sebagai sebuah proses dimana dua pihak (atau lebih) yang berbeda
pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Dalam konteks organisasi, negosiasi dapat terjadi (1) antara dua orang (sepserti antara
atasan dengan bawahan dalam menentukan tanggal penyelesaian proyek yang
dilimpahkan pada bawahan), (2) dalam satu kelompok (seperti pada kebanyakan
proses pengambilan keputusan dalam kelompok), (3) antar keompok (seperti yang
terjadi antara departemen pembelian dan penyedia material mengenai harga,
kualitas atau tanggal yang menjadi fokus bab ini dan (4) melalui internet.
Internet sekarang berperan sebagai sebuah tempat melakukan negoisasi pekerjaan,
mengkonsultasikan proyek-proyek , harga program pelatihan, dan harga prodek
yang disediakan pemasok. Bernegoisasi melalui internet memilki sebuah perbedaan
khusus dibandingkan bernegoisasi tatap muka. Di internet, negoisasi hanya dapat
dilakukan secara tertulis. Banyak keterampilan yang dibahas dalam bab ini dapat
diterapkan pada negoisasi yang bersifat tatap muka dan yang dilakukan melalui
internet.
Terlepas dari
latar belakang atau pihak yang terlibat di dalamnya, negoisasi umumnya memiliki
setidaknya empat elemen. Pertama, adanya ketidaksepakatan atau konflik dalam
batas tertentu. Konflik ini dapat sekedar dipersepsikan, dirasakan, ataupun
sudah termanifestasikan. Kedua, adanya ketegantungan antara pihak yang saling
terlibat. Ketiga, situasinya haruslah cukup kondusif untuk menghasilkan
interaksi yang oportunitis. Ini berarti, setiap pihak memiliki cara dan
keinginan untuk mempengaruhi pihak lainnya. Terakhir, harus ada kemungkinan
dicapainya kesepakatan. Bila unsur terakhir ini tidak ada, tentu saja negoisasi
tidak dapat menghasilkan resolusi yang positif. Seringkali terjadi, negoisasi
dibutuhkan pada saat yang tidak diharapkan. Ketika negoisasi berhasil
dilakukan, setiap pihak akan merasa mendapat keuntungan resolusi yang dicapai.
Ketika resolusi tidak berhasil dicapai, kemungkinan besar konflik akan
meningkat.
3.14.1. Negosiasi
Menang – Kalah (Win – Lose)
Pandangan klasik menyatakan
bahwa negosiasi terjadi dalam bentuk sebuah permainan yang nilai totalnya dalah
nol. (zero sum game). Artinya, apapun yang terjadi dalam negosiasi
pastilah salah satu pihaknya akan menang, sedangkan pihak yang lainnya kalah.
Disini, terdapat asumsi bahwa sumber daya yang tersedia terbatas, dan proses
negosiasi adalah mekanisme untuk menentukan siapa yang akan menerima sumber
daya tersebut. Ini juga dikenal sebagai negosiasi distributif. Istilah
ini mengacu pada proses membagi, atau “mendistribusikan”, sumber daya yang
terbatas. Pendekatan menang-kalah seringkali mewarnai sejumlah situasi
negosiasi. Membeli sebuah mobil adalah contoh klasik. Sebagai pembeli, semakin
sedikit Anda membayar, semakin sedikitlah keuntungan yang akan didapatkan
penjual ; “kemenangan” Anda (dalam bentuk jumlah uang yang lebih sedikit yang
dibayarkan) adalah kekalahan bagi si penjual (dalam bentuk semakin sedikit
keuntungan yang didapat). Perhatikan bahwa dalam negoisasi menang-kalah, satu
pihak tidak berarti harus “kalah” dalam arti mutlak. Dapat diasumsikan bahwa
pihak penjual masih akan mendapatkan keuntungan, tapi karena harga pembelian
yang lebih rendah, keuntungannya pun menjadi lebuh rendah.
Dalam organisasi,
negosiasi menang-kalah cukup umum. Hal ini diwarnai sebagian proses
tawar-menawar material pabrik, seperti pembelian perlengkapan atau produksi
bahan mentah. Negosiasi menang-kalah dapat dilihat di universitas dimana setiap
fakultas berusaha menegoisasikan anggaran yang terbaik untuk dirinya sendiri,
tentunya dengan mengorbankan anggaran fakultas lainnya. Seringkali terjadi,
contoh yang paling bervariasi dan negosiasi distributif dalam organisasi adalah
kasus-kasus yang terjadi antara tenaga kerja dan manajemen. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan gaji, keuntungan, situasi kerja, dan hal-hal terkait
lainnya dilihat sebagai sebuah konflik atau sumber daya yang terbatas.
3.14.2. Negoisasi
Menang – Menang (Win – Win)
Pendekatan yang sama-sama menguntungkan, atau pendekatan
integratif, dalam bernegosiasi memberikan cara pandang yang dalam proses
negosiasi. Tidak seperti orientasi total yang sama dengan nol dalam pendekatan
menang-kalah negosiasi menang-menang adalah pendekatan penjumlahan positif.
Situasi-situasi penjumlahan positif adalah pendekatan dimana setiap pihak
mendaparkan keuntungan tanpa harus merugikan pihak lain. Ini tidak berarti
bahwa setiap orang mendapat semua yang mereka inginkan, karena ini jarang
terjadi. Tapi ini berari bahwa sebuah kesepakatan yang dicapai membuat semua
pihak yang terlibat berada dalam posisi yang lebih baik dibandingkan
sebelumnya.
Nampaknya pendekatan
menang-menang ini seolah-olah menyatakan bahwa pendekatan ini lebih
menyenangkan daripada pendekatan menang-kalah. Untuk apa harus ada pihak yang
dan pihak yang kalah bila keduanya dapat menang? Namun sesungguhnya, tidak
setiap situasi negosiasi memiliki kemungkinan integratif. Beberapa situasi
benar-benar bersifat distributif ; sebuah keuntungan untuk satu pihak pastilah
berati kerugian pada pihak lainnya. Dalam pembelian kendaraan bermotor yang
dikutip sebelumnya, benar bahwa pemebli dan penjual dapat “memenangkan”
sesuatu, dalam ari bahwa pembeli dapat memiliki mobil dan penjual mendapatkan
untung. Meski demikian, situasi ini sesungguhnya bersifat ditributif. Pembeli
dapat memperoleh penawaran yang lebih baik hanya bila disertai dengan
berkurangnya keuntungan yang diperoleh si penjual. Tidak mungkin pembeli dapat
memperoleh harga serendah-rendahnya sedangkan penjual tetap memperoleh
keutungan semaksimal mungkin.
Bahkan bila
karakteristik dasar dari isu-isu yang dinegosiasikan memungkinkan dilakukannya
pendekatan menang-menang, negosiator (yang mewakili organisasi) mungkin saja
tidak memberikan kesempatan terjadinya hal ini. Negosiasi menang-menang, atau
pendekatan integratif, hany dapat berhasil bila isu-isu yang dinegosiasikan
memang sesuatu yang memilki karakteristik integratif dan semua pihak mau
berkomitmen untuk menghasilkan proses yang inegratif. Umumnya serikat pekerja
dan manajemen berunding mengenai isu yang bersifat ditributif maupun
integratif. Mekipun demikian para negosiator untuk kedua pihak serngkali
melihat keseluruhan proses sebagai sesuatu yang bersifat distributif, bahkan
ketika sesungguhnya masalah-masalah yang dibahas sesungguhnya bersifat
integratif dan pada akhirnya merekea menjadi korban sikap atau mentalitas
menang-kalah, yang merugikan kedua belah pihak.
3.15. Taktik- Taktik Negoisasi
Agar dapat mencapai hasil-hasil menang-menang atau menang-kalah,
para manajer yang menjadi negosiator dapat menerapkan beberapa taktik
negosiasi. Beberapa taktik yang paling sering digunakan, dibahas di bawah ini.
1.
Tim
orang baik/orang jahat (good guy/ bad guy). Setiap orang yang telah membaca
atau menyaksikan film detektif di televisi tentu sangat sering melihat taktik
ini. Anggota tim yang berperan sebagai ‘orang jahat’ akan mengajukan
tawaran-tawaran yang ektrim (yang sulit dan hampir tidak masuk akal) kepada
pihak lawan sehingga apapun yang dikatakan oleh anggota tim yang ‘baik hati’
akan cenderung diterima oleh pihak lawan (tetapi kita tahu bahwa ini hanyalah
sebuah trik. ‘orang jahat’ dan ‘orang baik’ itu bekerja sama untuk mencari
konsesi yang paling baik).
2.
The
Nibble. Taktik ini melibatkan dicarinya kesepakatan tambahan sesudah terjadinya
persetujuan antara pihak-pihak yang terlibat (mirip dengan pepatah
‘sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit’). Sebagai contoh, seorang mahasiswa
meminta ‘tambahan’ nilai untuk hasil ujiannya. Profesornya menyetujui dan
menambahkan nilai si mahasiswa sebanyak tiga angka, dan setelah kesepakatan
dicapai, mahasiswa itu meminta nilainya ditambah ‘sedikit lagi’. Inilah the
nibble.
3.
Pemecahan
masalah bersama-sama (joint problem solving). Seorang manajer tidak
boleh mengasumsikan bahwa dengan semakn banyaknya kemenangan yang didapat satu
pihak, semakin banyak pula kekalahan yang diderita pihak yang lain.
Alternatif-alternatif lainnya mungkin saja belum muncul. Sebagai contoh, dalam
upayanya mengurangi panggilan masuk ke departemen pelayanan sebuah perusahaan
penghasil piranti lunak komputer, mungkin saja perancang situs perusahaan
tersebut dapat menambahkan halaman berisi sebuah daftar pertanyaan yang sering
diajukan pada situs perusahaan tersebut. Ini akan menurunkan jumlah panggilan
masuk dan karenanya akan mengurangi konflik yang terjadi antara departemen
pelayanan dan departemen perancang situs perusahaan.
4.
Kekuatan
persaingan (power of competition). Para negosiator ulung menggunakan
persaingan untuk membuat lawan bicaranya berpikir bahwa mereka tidak
dibutuhkan. Anggaplah Anda seorang manajer perusahaan layanan komputer. Seorang
manajer dari sebua perusahaan yang menggunakan jasa perusahaan Anda suatu kali
mengancam bahwa kelompoknya akan membeli layanan komputer dari pesaing bila
perusahaan Anda tidak memenuhi permintaan pihakny (seperti menurunkan harga
atau mempercepat waktu produksi). Pertahanan paling efektif terhadap taktik ini
adalah menjaga objektifitas Anda. Jangan terlalu cepat menuruti permintaan yang
tidak masuk akal karena takut akan reaksi kelompok lain.
5.
Menawarkan
jalan tengah (splitting the difference). Ini dapat menjadi teknik yang
sangat berguna ketika dua kelompok menghadapi jalan buntu. Meski demikian, para
manajer harus berhati-hati ketika kelompok lain terlalu cepat menawarkan suatu
jalan tengah. Mungkin saja kelompok itu telah menerima lebih dari yang
seharusnya!
3.16. Meningkatkan Efektivitas Negoisasi
Seperti halnya tidak ada cara terbaik untuk
mengelola sesuatu, maka tidak ada juga satu cara terbaik untuk bernegosiasi.
Pemilihan strategi-strategi negoisasi yang spesifik tergantung sejumlah
variabel. Karakteristik isu yang menjadi perbincangan adalah salah satu pertimbangan
penting dalam negosiasi. Sebagai contoh, cara seseorang melakukan pendekatan
negosiasi terhadap masalah-masalah distributive akan tampak berbeda dengan
strategi yang digunakan untuk mengatasi isu-isu yang integratif. Konteks atau
lingkungan dimana negosiasi terjadi juga dapat menjadi pertimbangan penting,
seperti juga karakteristik hasil negosiasi yang hendak dicapai proses
negosiasi. Dalam banyak situasi negosiasi, pertimbangan terakhir ini mungkin
menjadi yang paling penting.
Satu cara
yang jitu untuk melihat hasil akhir yang diharapkan adalah dengan membedakan
hasil substansifdan hubungan (relationship). Hasil
substansif terkait dengan bagaimana suatu masalah diselesaikan. Untuk mencapai
hasil yang lebih besar, dalam negosiasi, kita harus berfokus pada hasil
substansif. Di sisi lain, berfokus pada bagaimana mempertahankan hubungan baik
diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses organisasi – telepas dari
hasil substansif – adalah apa yang dilakukan dengan hasil hubungan. Walaupun kedua hasil akhir ini bukanlah sesuatu yang
sangat eksklusif, tingkat kepentingan kedua hasil ini mungkin dapat
mempengaruhi strategi negosiasi yang dipilih oleh manajer.
Suatu
model untuk meningkatkan efektivitas negosiasiditemukan pada penelitian seorang
praktisi manajemen berkebangsaan Belanda, Willem Mastenbroek. Walaupun model
ini sangat komprehensif, fokus kuncinya terdapat pada emapat aktivitas berikut.
1. Memperoleh hasil yang substansial. Ini mengacu pada aktivitas-aktivitas yang berfokus
pada isi yang dinegosiasikan. Hasil-hasil yang diharapkan tidak akan dapat
tercapai apabila negosiasi-negosiasi tidak secara konstruktif difokuskan pada
masalahyang sebenarnya. Proses pertukaran informasi mengenai tujuan-tujuan dan
harapan setiap pihak dalam proses negosiasi adalah contoh jenis aktivitas ini.
2. Mempengaruhi keseimbangan kekuasaan. Hasil akhir negosiasi-negosiasi hampir pasti terkait
langsung dengan kekuasaan dan hubungan saling ketergantungan antara para
negosiator. Tidak satu pun dari mereka berupaya meningkatkan kekuasaannya
melalui dominasi, ataupun merespons penuh hormat setiap usaha yang dilakukan
pihak lawan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan , mewakili cara yang
paling efektif dlam menghadapi isu kekuasaan. Membuat sedikit pergeseran
kekuasaan melalui persuasi, fakta-fakta, dan keahlian hampir selalu lebih
efektif.
3. Meningkatkan iklim yang konstruktif. Ini terkait dengan aktivitas-aktivitas yang dirancang
untuk memfasilitasi kemajuan, dengan cara meminimalkan kemungkinan ketegangan
dan permasalahan antar pihak menjadi sesuatu yang mengganggu.
Aktivitas-aktivitas spesifik dapat mencangkup aktivitas memperhatikan
opini-opini pihak yang berseberangan, bertindak dalam cara-cara yang
terprediksi yang serius, memperlakukan setiap pihak dengan hormat, dan
menunjukkan rasa humor. Berasa pada sisi yang berlawanan mengenai sebuah
masalah tidak berarti harus menunjukkan sikap bermusuhan secara pribadi.
4. Mencapai fleksibilitas prosedur. Aktivitas-aktivitas ini memungkinkan seorang
negosiator meningkatkan efektivitas negosiasi melalui peningkatan jumlah dan
jenis opsi yang disediakan dalam negosiasi. Semakin lama negosiator menyediakan
pilihan yang beragam, kemungkinan dicapainya hasil yang diharapkan juga semakin
besar. Contoh-contoh yang ada mencakup secara bijaksana memilih posisi awal,
mengatasi beberapa isu secara bersamaan, dan menyediakan sebanyak mungkin
alternative yang dapat dipilih.
3.16.1. Negosiasi Menggunakan Pihak Ketiga
Negosiasi-negosiasi
tidak selalu langsung terjadi antara dua pihak yang mengalami ketidaksepakatan.
Terkadang pihak-pihak ketiga dipanggil untuk terlibat dalam negosiasi antara
pihak-pihak yang telah menghadapi jalan buntu. Pada saat-saat lainnya,
pihak-pihak ketiga mungkin saja dilibatkan sejak awal proses negosiasi. Dalam
beberapa keadaan, keterlibatan pihak ketiga merupakan suatu yang bersifat
dipaksakan, sedangkan dalam situasi lainnya, keterlibatan pihak ketiga
merupakan sesuatu yang dilakukan dengan sengaja. Dalam keadaan apapun,
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga tampak semakin banyak digunakan.
Terdapat
berbagai macam intervensi pihak ketiga, dan keterlibatan pihak ketiga dalam
negosiasi dapat dijelaskan dengan beberapa karakteristik tertentu. Salaha satu
tipologi menyebutkan setidaknya terdapat empat macam intervensi pihak ketiga
yang mendasar. Mediasi adalah situasi
dimana pihak ketiga yang netral menggunakan penalaran, pemberian usulan, dan
persuasi dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para mediator ini
memfasilitasi penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak
yang terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Para mediator tidak memiliki
otoritas yang mengikat ; pihak-pihak yang terlibat bebas mengacuhkan usaha
mediasi ataupun rekomendasi yang dibuat pihak ketiga. Arbitrase adalah situasi dimana pihak ketiga memiliki wewenang
memaksa terjadinya kesepakatan. Dalam sebuah arbitrase konvesioanal, pihak yang
melakukan arbitrase mengambil pilihan yang menengahi kepentingan kedua belah
pihak yang terlibat. Dalam penawaran arbitrase yang terakhir, arbitrator diberi
mandate untuk memilih salah satu dari sejumlah penawaran yang diajukan oleh
kedua pihak, dan karenanya tidak memilki kekuasaan yang nyata untuk membentuk
kesepakatan. Konsiliasi terjadi
ketika pihak ketiga adalah seseorang yang dapat dipercaya oleh kedua pihak dan
bertugas menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang
konsiliator tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir
negosiasi seperti seorang mediator. Yang terakhir, konsultasi adalah situasi dimana pihak ketiga, yang terlatih dalam
isu konflik dan memiliki keterampilan penyelesaian konflik, berupaya
memfasilitasi pemecahan permasalahan dengan lebih memusatkan hubungan antar
pihak ketimbang isu-isu yang substansif. Peran utama konsultan adalah
meningkatkan iklim negosiasi sehingga negosiasi yang berujung pada hasil yang
substansif dapat tercapai pada masa yang akan dating.
Tidak
jarang seorang manajer menjadi pihak ketiga dalam sebuah negosiasi.
Situasi-situasi dimana hal ini terjadi dapat mencakup : dua bawahan yang
mengalami ketidaksepaktan, seorang karyawan dengan pelanggan yang tidak puas,
atau ketegangan antar dua departemen yang dibawahi oleh manajer yang sama.
Sebagai pihak ketiga, seorang manajer dapat memilih salah satu dari empat
kemunkinan peren yang ada.
3.16.2. Bernegosiasi Secara Global
Jumlah
negosiasi yang bersifat global meningkat dengan cepat. Kesepakatan-kesepakatan,
pasar, dan hubungan global yang diupayakan berbagai organisai perlu
memperhatikan dampak budaya pada cara bernegosiasi. Setiap individudari budaya
yang beragam menjalani proses negosiasi dengan gaya yang berbeda. Sikap
memberiakan label atau cap pada gaya negosiasi suatu budaya (atau negara)
adalah sikap yang menggeneralisasikan dan membatasi. Meski demikian, ditemukan
beberapa karakteristik yang sifatnya umum. Mantan duta besar Singapura untuk
Amerika Serikat menyatakan bahwa negosiator Amerika Serikat umumnya (1) sangat
siap dalam negosiasi, (2) berbicara apa adanya, (3) pragmatis, dan (4) memandang
perlunya kesepakatan bersama, serta (5) sangat spesifik dan mendetail. Beberapa
orang lain mendeskripsikan negosiator Amerika Serikat sebagai orang yang
tergesa-gesa, sombong, dan tanpa basa-basi. Kelemahan orang Amerika Serikat
dalam bernegosiasi tampak berpusat pada ketidaksabarannya, caranya yang
terlihat selalu mengutamakan legalitas, dan kemampuan mendengarkannya yang
buruk. Sebaliknya, kekuatan para negosiator Amerika Serikat terletak pada
keramahan, keadilan dan fleksibilitasnya.
Peraga 3.7. Pengaruh Budaya pada Negosiasi
Negara
|
Sikap Bernegosiasi
|
Gaya Pribadi
|
Gaya Berkomunikasi
|
Bentuk Kesepakatan
|
Jepang
|
100%
|
27%
|
27%
|
46%
|
Cina
|
82%
|
46%
|
18%
|
27%
|
Argentina
|
81%
|
35%
|
4%
|
27%
|
Perancis
|
80%
|
20%
|
20%
|
30%
|
India
|
78%
|
22%
|
11%
|
44%
|
AS
|
71%
|
17%
|
5%
|
22%
|
UK
|
59%
|
35%
|
12%
|
11%
|
Meksiko
|
50%
|
42%
|
0%
|
17%
|
Jerman
|
55%
|
27%
|
9%
|
45%
|
Nigeria
|
47%
|
53%
|
0%
|
20%
|
Brazil
|
44%
|
22%
|
11%
|
20%
|
Spanyol
|
37%
|
47%
|
0%
|
16%
|
(Sumber : Diadaptasi dar J. W.
Salacuse, “Ten Ways that Culture Affects Negotiating Style : Some Survey
Results, “Negotination Journal, Juli
1998, hal. 221-40)
|
Peraga
3.7. mendeskripsikan lebih dari 300 negosiator dari 12 negara berbeda.
Negosiator Jepang tampak lebih menekankan pendekatan integratif atau
menang-menang dibandingkan negosiator dari negara lainnya. Hasil ini juga
mengindikasikan bahwa gaya komunikasi langsung digunakan oleh para negosiator
Argentina, Amerika, dan Jerman.
Perbedaan
dalam hal cara atau gaya bernegosiasi ini sangatlah luas. Meski demikian,
sistem politik, kebijakan legal, ideologi, tradisi dan budaya jelas
mempengaruhi pilihan gaya yang digunakan. Pengalaman internasional para
negosiator juga memiliki peran dalam pemilihan gaya yang digunakan. Membiasakan
diri dengan cara komunikasi, orientasi waktu, orientasi individu, versus orientasi
kelompok, orientasi keagamaan, dan budaya dari lawan bicara dalam sebuah
negosiasi, akan menjadi langkah yang penting dalam mempersiapkan diri untuk
bernegosiasi secara global. Memahami budaya seseorang adalah tanda bahwa kita
menghormati orang tersebut; suatu sikap yang sangat dihargai dalam
bernegosiasi.
3.17.
Meningkatkan Negosiasi
Dalam
beragam bentuknya, negosiasi menjadi bagian tugas manajer yang semakin penting.
Sebuah ulasan mengenai topik negosiasi oleh Wall dan Blum menyimpulkan beberapa
rekomendasi mengenai cara para manajer meningkatkan proses negosiasi. Mereka
menyampaikan hal-hal berikut.
1.
Mulailah proses
perundingan dengan suasana yang positif- mungkin dengan membentuk kesepakatan
kecil- dan kemudian ulangi lagi kesepakatan dengan pihak lawan.
2.
Berkonsentrasilah
pada masalah-masalah yang dinegosiasikan dan pada faktor-faktor situasional
yang ikut terlibat, bukan pada karakteristik lawan bicara kita.
3.
Lihatlah alasan
di balik penawaran yang diajukan lawan bicara dan cobalah tentukan strategi yang
digunakannya.
4.
Jangan biarkan
lawan menyadari besarnya tanggung jawab Anda dalam negosiasi- lawan bias saja
memunculkan tawaran yang menyudutkan bila mereka mengetahui besarnya tanggung
jawab yang Anda pikul.
5.
Bila Anda
memiliki kekuasaan dalam sebuah negosiasi, gunakanlah – dengan
permintaan-permintaan spesifik, ancaman ringan, dan persuasi-untuk mengarahkan
lawan bicara mencapai kesepakatan.
6.
Terbukalah
terhadap bantuan pihak ketiga.
7.
Dalam
bernegosiasi, cermati lingkungan negosiasi dan waspadalah bahwa perilaku serta
kekuatan lawan bicara dipengaruhi
lingkungan negosiasi.
0 Response to "Mengelola Konflik dan Negosiasi dalam Organisasi"
Post a Comment