2.1
PENGERTIAN
REFORMASI BIROKRASI
Reformasi adalah mengubah atau membuat
sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan
pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam
pengertian perubahan ke arah kemajuan. Reformasi birokrasi pada hakikatnya
merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap
sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya aparaturnya. Reformasi di sini
merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan,
sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan
revolusioner.
Menurut Khan (1981) reformasi sebagai
suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan
mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk
mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku
birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.
Reformasi ini harus dilakukan mulai dari
pejabat tertinggi, seperti presiden dan wakil presiden dalam suatu negara atau
menteri dalam lembaga kementerian negara, sebagai motor penggerak utama diikuti
oleh seluruh aparatur dibawahnya. Reformasi birokrasi Indonesia untuk saat ini
dapat dikatakan belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya
pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi.
Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah
langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan
berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu
upaya pemerintah untuk mencapai good
governance. Melihat pengalaman sejumlah negara menunjukan bahwa reformasi
birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah negara. Melalui
reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi
tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi Birokrasi
dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional.
Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan,
partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya
dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan
pertanggungjawaban publik.
Tujuan utama Reformasi Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa, yaitu :
1.
Memperbaiki kinerja birokrasi agar
lebih efektif dan efisien.
2.
Terciptanya birokrasi yang
profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas
dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi negara.
3.
Menciptakan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari praktek KKN.
4.
Meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat.
5.
Membangun aparatur
negara agar lebih berdaya dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum
pemerintahan dan pembangunan nasional.
2.2 PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK DAN
ETIKA PELAYANAN PUBLIK
A. PENGERTIAN PELAYANAN
PUBLIK
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial,ini berarti
manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya termasuk dalam hal
pelayanan. Pelayanan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pelayanan erat kaitannya dengan kegiatan Antara dua orang/lebih yang satu sama
lain saling diuntungkan.
Menurut Kotlern pelayanan
adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan,
dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik. Inu dan kawan-kawan mendefinisikan public adalah sejumlah manusia yang
memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap atau tindakan yang
benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka memiliki.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Pelayanan
publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa
pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa
publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah
di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah,
dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan diatas, maka kami
menyimpulkan bahwa pelayanan publik adalah bentuk pelayanan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap masyarakat guna memenuhi segala kebutuhannya dan sebagai
bentuk pengabdian pemerintah kepada rakyatnya.
Pelayanan public dikatakan maksimal apabila tingkat kepuasan masyarakat terhadap
kinerja para pelayan public tinggi. Namun pada kenyataannya, saat ini tingkat kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan publik yang dilakukan pemerintah masih rendah. Itulah
yang menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pemimpin pemerintahan di Indonesia.
B. PENGERTIAN ETIKA PELAYANAN PUBLIK
Etika pelayanan publik menurut
Denhardt etika pelayanan publik diartikan sebagai filsafat dan kode etik atau
stnadar profesi, atau moral atau raight
rules of conduct (aturan berperilaku yang benar yang seharusnya dipatuih
oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik). Dalam hal ini
Denhardt menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. Sedangkan menurut
Rohman etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum
atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Dalam hal ini
menekankan penggunaan nilai-nilai luhur dalam pelayanan publik. Jadi, bahwa
etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang
administrator dalam memberikan pelayanan publik.
2.3 RUANG LINGKUP PELAYANAN PUBLIK
Ruang
lingkup dari penyelenggaraan pelayanan publik ini tercantum dalam Bagian Ketiga
Ruang Lingkup Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, bahwa “Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan
barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalarn
peraturan perundang-undangan”. Hal ini meliputi pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya
alarn, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
A. Pelayanan
Barang Publik
Ruang lingkup dari pelayanan barang
publik ini diantaranya meliputi:
· Pengadaan
dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
· Pengadaan
dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau
kekayaan daerah yang dipisahkan.
· Pengadaan
dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau
badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi
ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
B. Pelayanan
Jasa Publik
Ruang lingkup dari pelayanan jasa
publik ini diantaranya meliputi:
· Penyediaan
jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
· Penyediaan
jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan.
· Penyediaan
jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha
yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara
dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi
negara yang ditetapkan ddam peraturan perundang-undangan.
C. Pelayanan
administratif
Ruang lingkup dari pelayanan
administratif ini diantaranya meliputi:
· Tindakan
administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara.
· Tindakan
administratif oleh instansi non-pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan
diatur dalam peraturan
perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima
pelayanan.
2.4 PIHAK-PIHAK YANG
BERPERAN DALAM PELAYANAN PUBLIK (TUGAS DAN KEWAJIBAN PIHAK-PIHAK TERSEBUT)
Dalam
pelayanan publik ini terdapat pihak-pihak yang berperan di dalamnya, baik itu
pihak yang memberikan pelayanan publik maupun pihak yang menerima pelayanan publik.
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik ini diperlukan adanya pembina dan
penanggungjawab.
Pembina
disini memiliki tugas untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi
terhadap pelaksanaan tugas dari penanggung jawab. Pihak yang dapat berperan
sebagai pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik ini yaitu:
1) Pimpinan
lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah
non-kementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya.
Pembina tersebut
wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali untuk pimpinan lembaga negara dan pimpinan
lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan
undang-undang.
2) Gubernur
pada tingkat provinsi
Pembina
ini wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan menteri.
3) Bupati
pada tingkat kabupaten atau walikota pada tingkat kota
Pembina ini
wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dan gubernur.
Sedangkan
yang berperan sebagai penanggungjawab disini adalah pimpinan kesekretariatan
negara yang berkedudukan sebagai pembina atau pejabat yang ditunjuk sebagai
pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti menteri yang
bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Penanggungjawab
memiliki tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja, melakukan
evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan melaporkan kepada pembina
pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit
pelayanan publik.
Dalam hal ini pihak-pihak yang berperan
dalam pelayanan publik diantaranya yaitu ada penyelenggara pelayanan publik,
atasan satuan kerja penyelanggara, organisasi penyelenggara pelayanan publik,
pelaksana pelayanan publik, dan masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 Pasal 1 (2) bahwa:
Penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Dalam
melaksanakan tugasnya penyelenggara
pelayanan publik ini pun memiliki hak dan kewajiban.
1) Hak
penyelenggara tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Penyelenggara
memiliki hak:
a. memberikan
pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya;
b. melakukan
kerja sama;
c. mempunyai
anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayananan publik;
d. melakukan
pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai dengan kenyataan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
e. menolak
permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2) Kewajiban
penyelenggara tercantum pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Penyelenggara
berkewajiban:
a. menyusun
dan menetapkan standar pelayanan;
b. menyusun,
menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
c. menempatkan
pelaksana yang kompeten;
d. menyediakan
sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung
terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
e. memberikan
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik;
f. melaksanakan
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;
g. berpartisipasi
aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
h. memberikan
pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan;
i. membantu
masyarakat dalam memaharni hak dan tanggung jawabnya;
j. bertanggung
jawab dalarn pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik;
k. memberikan
pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri
atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan; dan
l. memenuhi
panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu
tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau
instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dan
Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 bahwa “Atasan satuan kerja
penyelenggara adalah pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu
atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik”.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
Pasal 1 ayat (4) bahwa:
Organisasi
penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Organisasi
Penyelenggara adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di
lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Organisasi
penyelenggara pelayanan publik ini memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan dari organisasi tersebut.
Dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik ini, organisasi penyelengara
pelayanan publik minimal memiliki unit organisasi yang berperan sebagai
pelaksana pelayanan, pengelola pengaduan masyarakat, pengelola informasi,
pengawas internal, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelayanan konsultasi.
Semua
unit tersebut bertanggungjawab atas semua hal yang berkaitan dengan pelayanan
publik, termasuk dalam hal ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan
penyelenggaraan pelayanan.
Dan
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (5) bahwa “Pelaksana
pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai,
petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang
bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik”.
Di
dalam melaksanakan tugasnya, pelaksana pelayanan publik ini memiliki kewajiban
dan larangan.
1) Kewajiban
dari pelaksana pelayanan publik tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009.
Pelaksana
berkewajiban:
a. melakukan
kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh penyelenggara;
b. memberikan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. memenuhi
panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas
permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah
yang berhak, benvenwg, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. memberikan
pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggungjawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
e. melakukan
evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja kepada penyelenggara secara
berkala.
2) Ketentuan
larangan yang dilakukan oleh pelaksana tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009.
Pelaksana
dilarang:
a. merangkap
sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal
dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah;
b. meninggalkan
tugas dan kewajiban, kecuali mempunyai alasan yang jelas, rasional, dan sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. menarnbah
pelaksana tanpa persetujuan penyelenggara;
d. membuat
perjanjian kerja sama dengan pihak lain tanpa persetujuan penyelenggara; dan
e. melanggar
asas penyelenggaraan pelayanan publik.
Serta
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (6) bahwa “Masyarakat
adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang
perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima
manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik ini sangat diperlukan sejak
penyusunan standar pelayanan sampai pada evaluasi terhadap pelayanan yang
diselenggarakan. Maka dari itu masyarakat memliki hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
1) Hak
masyarakat penyelenggaraan pelayanan publik ini tercantum dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Masyarakat
berhak:
a. mengetahui
kebenaran isi standar pelayanan;
b. mengawasi
pelaksanaan standar pelayanan;
c. mendapat
tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. mendapat advokasi, perlindungan, dan/ atau
pemenuhan pelayanan;
e. memberitahukan
kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan
yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
f. memberitahukan
kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan
tidak sesuai dengan standar pelayanan;
g. mengadukan
pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/ atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman;
h. mengadukan
penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan
i. mendapat
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
2) Kewajiban
masyarakat tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Masyarakat
berkewajiban:
a. mematuhi
dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan;
b. ikut
menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik;
dan
c. berpartisipasi
aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik.
2.5 STANDAR PELAYANAN DALAM PENYELENGGARAAN
PELAYANAN PUBLIK
Menurut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 Pasal 1 (7) bahwa “Standar pelayanan adalah tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat
dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan
terukur”.
Dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan publik harus berasaskan kepentingan umum,
kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persarnaan
perlakuan/ tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan.
Berdasarkan
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, bahwa:
Komponen
standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a.
dasar hukum;
b.
persyaratan;
c.
sistem, mekanisme, dan prosedur;
d.
jangka waktu penyelesaian;
e.
biaya/ tarif;
f.
produk pelayanan;
g.
sarana, prasarana,
dan/ atau fasilitas;
h.
kompetensi pelaksana;
i.
pengawasan internal;
j.
penanganan pengaduan, saran, dan
masukan;
k.
jumlah pelaksana;
l.
jaminan pelayanan yang memberikan
kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
m. jaminan
keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa
aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan
n.
evaluasi kinerja pelaksana.
2.6 PERILAKU PELAKSANA PELAYANAN PUBLIK
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
Menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (5) bahwa “Pelaksana pelayanan
publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan
setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas
melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 Pasal 34 bahwa:
Pelaksana
dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a.
adil dan tidak diskriminatif;
b.
cermat;
c.
santun dan ramah;
d.
tegas, andal, dan tidak memberikan
putusan yang berlarut-larut;
e.
profesional;
f.
tidak mempersulit;
g.
patuh pada perintah atasan yang sah dan
wajar;
h.
menjunjung tinggi nilai-nilai
akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i.
tidak membocorkan informasi atau dokumen
yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j.
terbuka dan mengambil langkah yang tepat
untuk menghindari benturan kepentingan;
k.
tidak menyalahgunakan sarana dan
prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l.
tidak memberikan informasi yang salah
atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam
memenuhi kepentingan masyarakat;
m. tidak
menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenanganya yang dimiliki;
n.
sesuai dengan kepantasan; dan
o.
tidak menyimpang dari prosedur.
Selain
perilaku yang harus sesuai dengan aturan, para pelaksana penyelenggara
pelayanan publik juga akan di awasi oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu
pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan ini bertujuan agar kinerja
para pelayan publik tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.
Untuk
pengawasan yang internal biasanya melalui pengawasan yang dilakukan langsung
oleh atasannya, dan pengawasan yang dilakukan oleh pengawasan fungsional.
Sedangkan untuk pengawasan yang eksternal biasanya melalui pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat yang berupa laporan atau pengaduan dari masyarakat
atas pelayanan publik yang diselenggarakan, pengawasan oleh ombudsman (lembaga
negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik),
dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak DPR atau DPRD wilayah tersebut.
2.7 POTRET KINERJA APARAT
BIROKRASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
Permasalahan dalam birokrasi
pemerintahan pada saat ini antara lain bahwa birokrasi pemerintah belum
efisien, kebijakannya belum stabil, dan masih adanya praktek penyimpnangan dan
penyalahgunaan wewenang. Peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara
masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan pelayanan publiknya yang
masing belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Dalam mengimplementasikan
program reformasi birokrasi yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah, banyak
tantangan-tantangan yang harus dihadapai oleh pemerintah diantarnya adalah
reformasi birokrasi belum mencapai sasaran pembenahan kelembagaan, tata
laksana, manajemen sumber daya manusia, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan
publik, perubahan pola pikir dan sebagainya.
Pada era reformasi seperti
sekarang ini, birokrasi dituntut untuk merubah sikap dan perilaku agar dapat
melayani masyarakat dengan baik dan maksimal. Perubahan-perubahan sosial yang
terjadi baik yang berubah secara cepat maupun lambat menuntut organisasi
birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut,
sebab perubahan selalu mengundang unsur perbedaan.
Pelayanan public dikatakan maksimal apabila tingkat kepuasan masyarakat terhadap
kinerja para pelayan public atau birokrat tinggi. Namun pada kenyataannya,saat
ini tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang dilakukan pemerintah
masih rendah. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai bidang pelayanan publik di
Indonesia, misalnya dalam hal pembuatan E-KTP, KK dan sebagainya. Para pelayan public seakan-akan tidak mengedepankan prinsip kepuasan pelanggan,
tidak menjamin kepastian waktu, dan bahkan menetapkan prosedur pelayanan
yang sulit, serta banyak aparat birokrasi yang kurang ramah, sopan, santun dan kurangnya kenyamanan yang dirasakan oleh
masyarakat atas pelayanan yang diberikan kepadanya.
Di tingkat Kecamatan saja,
untuk membuat KTP dari awal pembuatan hingga selesai bias memakan waktu berbulan-bulan.
Padahal jika pelayanannya baik dan para pegawainya bersikap professional maka
proses pembuatan KTP tidak akan memakan waktu yang cukup lama, cukups atu atau dua hariselesai.
Fakta lainnya misal di tingkat
Desa, masyarakat yang ingin membuat dan mengajukan surat keterangan tidak mampu,
harus menempuh prosedur yang berbelit-belit. Selain itu, biasanya ada pungutan-pungutan
liar yang dilakukan aparat desa jika permohonannya ingin segera diselesaikan.
Dengan adanya hal tersebut, maka lama kelamaan masyarakat akan merasa resah sehingga timbul
pandangan buruk terhadap birokrasi pemerintahan di negaranya.
Buruknya proses penanganan dan pelayanan pasien di
Rumah Sakit milik pemerintah juga menjadi potret dari lemahnya kinerja aparat
birokrasi. Pelayanan yang diberikan para pegawai rumah sakit terhadap pasien
sangat lambat sekali sampai-sampai banyak pasien yang harus menunggu berjam-jam
untuk bisa mendapatkan pelayanan. Lambatnya proses pelayanan dan penanganan
pasien ini terjadi hampir di seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia. Entah
karena alasan apa kebanyakan pelayanan publik di rumah sakit khususnya milik
pemerintah memang seperti itu, prosesnya lama, tidak adanya kepastian waktu,
prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan bahkan sikap para pegawai yang
kurang ramah dan profesional.
Pelayananpublikmenjadisalahsatupenyakitberkelanjutandarisetiapmasa ke masa
pemerintahan berikutnya. Sejakdahuluhinggasekarangrasanyatidakadaperubahan yang signifikan.
Padahalsetiappemimpinbaru,dibuat strategi baru yang berkaitan
dengan upaya peningkatan pelayanan publik, tetapihalitumenjadisia-siajikatidak adanya keseriusan pemerintah
dalam membenahi dan memperbaiki sumber daya manusianya terutama sikap dan perilakuparaaparatbirokrasi itu sendiri.
2.8
UPAYA-UPAYA
YANG DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI KINERJA APARAT BIROKRASI DIBIDANG
PELAYANAN PUBLIK
Dari masa ke masa, tahun ke tahun dan
silih bergantinya presiden, masalah kinerja birokrasi dalam bidang pelayanan
publik sangat mengecewekan. Bahkan, aparat birokrasi memiliki citra yang buruk
dimata masyarakat karena pelayanan publik yang diberikan tidak bisa memenuhi
harapan dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Birokrasi selalu menjadi salah satu
masalah besar yang harus segera diselesaikan. Dengan sangat pesatnya kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan
strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan
dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil
langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan
efisien.
Agar tingkat kepuasan dan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat
birokrasi meningkat, maka harus dibuat suatu cara dan strategi untuk
menanggulangi masalah tersebut. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan
pemerintah dalam peningkatan kualitas pelayanan publik diantaranya adalah:
1. Revitalisasi,
restrukturisasi dan deregulasi di bidang pelayanan publik.
2. Peningkatan
profesionalisme pejabat pelayanan publik
3. Korporatisasi
unit pelayanan publik.
4. Pengembangan
dan pemanfaatan E-Government bagi
instansi pelayanan publik.
5. Peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik.
6. Pemberian
penghargaan dan sanksi kepada unit pelayanan masyarakat.
Buruknya kinerja birokrasi
pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, menggambarkan bahwa
betapa kompleksnya persoalan organisasi birokrasi yang dihadapkan pada
persoalan masyarakat yang heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi
birokrasi harus melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain
:
a. Birokrasi
harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi
perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern,
ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang
perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas
yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih
berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan
ketepatan waktu.
d. Birokrasi
harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya
kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih
desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan
publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan
struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi
kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan
cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan
masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi
birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capabelity),
memiliki loyalitas kepentingan (competency),
dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherncy).
0 Response to "Birokrasi Pemerintahan di Bidang Pelayanan Publik"
Post a Comment