BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap negara yang menganut prinsip demokrasi akan
selalu menempuh proses pemilihan umum untuk menentukan pemimpinnya. Dengan
melaksanakan pemilihan umum, negara akan terbebas dari satu masa rezim otoriter
karena kepala negara dan/atau kepala pemerintahannya akan dipilih sendiri oleh
rakyat. Meskipun begitu, pemilihan umum bukanlah satu-satunya tolak ukur dan
perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain.
Pada saat berbicara
demokrasi perwakilan, maka perihal kehadiran partai politik dan sistem pemilu
menjadi penting untuk dibicarakan. Sebagaimana dipahami bersama, partai politik
merupakan organisasi kepentingan yang terlembagakan dan permanen dalam
memperjuangkan aspirasi rakyat. Sementara Pemilu merupakan sarana demokrasi
langsung dalam menyalurkan kepentingan publik.
Pemilihan
umum merupakan satu sistem pemilihan yang dapat menentukan kualitas dan
keberadaban sebuah sistem politik pada satu negara. Dalam konteks sistem
politik demokrasi, kehadiran pemilu yang
bebas dan
adil (free and fair)adalah suatu keniscayaan. Pemilu merupakan salah satu
perangkat yang niscaya dalam sebuah sistem demokrasi. Terkait dengan pemahaman
seperti itu pula, maka kadangkala ada negara
yang menjadi kehadiran pemilu sebagai klaim politis atas kedemokrasian
negara yang dibangunnya.
Adanya sikap klaim sepihak dari
negara-negara tertentu tentang kedemokrasi tersebut, menyebabkan parameter demokrasi pada sebuah Negara kurang akurat. Hal ini biasanya terjadi pada negara transisi
atau negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu, ada tidaknya pemilu di
suatu negara tidak secara otomatis dapat menggambarkan ada atau tidaknya
kehidupan demokrasi politik pada negara tersebut. Hal ini disebabkan karena
pemilu di beberapa negara dunia ketiga seringkali
tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi.
Pemilihan dalam
pemilihan suatu sistem Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu keputusan
kelembagaan yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan
keberadaban dan keberkualitasan sistem politik. Karena sistem pemilihan umum
akan menghasilkan logika-logika politik, atas laksana administrasi, berjalannya
birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya civil society di dalam sistem
itu selanjutnya. Maka dari itu, sejatinya, pemilihan sistem pemilihan umum
menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan sesederhana seperti yang diwacanakan
oleh banyak pihak. Bila boleh jujur, jarang sekali sistem pemilihan umum
dipilih secara sadar (rasional) dan disengaja oleh elite-elite politik di
banyak negara. Seringkali pemilihan sistem tersebut datang secara kebetulan,
karena adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi secara simultan, atau adanya
karena trend yang sedang menggejala, atau karena keajaiban semata.
Oleh karena
jarangnya sistem pemilihan umum yang dirancang secara seksama untuk memenuhi
kondisi historis dan sosio-politik suatu negara, maka sistem pemilihan umum
yang dikonstruksi oleh suatu lembaga pemerintahan seringkali berorientasi pada
kepentingan atas pemenuhan pertahanan status-quo dibandingkan menumbuhkan dan
mengembangkan kebermaknaan politik logika-logika yang digunakan oleh rezim
berkuasa ketika menetapkan sistem pemilihan umum dalam suatu negara biasanya
didasarkan atas logika demokrasi prosedural dibandingkan dengan demokrasi
sejati pilihan sistem pemilihan umum dalam demokrasi yang sejati seharusnya
dapat memastikan bahwa pembagian politik dari suatu masyarakat (entah itu
dilihat dari sisi: religiositas, etnisitas, sosio-kultural, hingga
sosio-ekonomi) diperhatikan secara layak oleh kerangka hukum pemilihan umum,
sehingga pertentangan dan perbedaan utama yang disediakan dalam iklim demokrasi
dapat diakomodasikan melalui sistem perwakilan politik (dalam hal ini sistem
pemilihan umum).
Sejak pemilihan umum yang pertama diselenggarakan,
masyarakat Indonesia telah mengenal demokrasi. Sikap antusias yang terlihat
pada saat proses pemilihan menjadi ciri bagaimana masyarakat sudah
mencita-citakan dan menunggu sosok pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh bangsa
Indonesia.
Di dalam perkembanganya, sistem pemilihan umum yang
selalu digunakan di Indonesia adalah sistem proporsional. Sistem ini
memperbolehkan suatu negara untuk memiliki banyak partai yang diakui
keberadaannya. Mengapa sistem ini? Dan apa keuntungan sistem ini? Akan kami
bahas dalam analisis teoritis dan analisis praktis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dan penjelasan dari
Sistem Distrik?
2.
Apa pengertian dan penjelasan dari
Sistem Proporsional?
3.
Apa pengertian dan penjelasan dari
gabungan Sistem Distrik dan Sistem Proporsional?
4.
Sistem pemilihan apa yang digunakan
di Indonesia sejak pemilihan yang pertama sampai sekarang?
1.3 Tujuandan Manfaat Pembahasan
1.
Mengenal dan memahami Sistem Distik
dalam pemilihan umum.
2.
Mengenal dan memahami Sistem
Proporsional dalam pemilihan umum.
3.
Mengenal dan memahami gabungan Sistem
Distrik dan Sistem Proporsional.
4.
Mengetahui perkembangan sistem
pemilihan umum yang digunakan sebelum dan setelah reformasi.
1.4 Metode Pembahasan
Metode
pembahasan akan dilakukan dengan diskusi kelompok sebagai pemaparan, sedangkan
analisis teori dan analisis praktek ada dalam
makalah yang telah disusun.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Budiardjo (2008:462)menyatakan bahwa
:
Sistem Distrik adalah sistem pemilihan umum yang
paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis
(yang biasa disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh
satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik pemilihan (kecil) yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Budiardjo (2008:463)
menyatakan bahwa :
“Sistem Proporsional, satu wilayah
dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi
sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa
menghiraukan distribusi suara itu.”
Budiardjo
(2008:472) menyatakan bahwa :
Setengah
dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem
proporsional. Setiap pemilihan mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas
dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai
atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua).
Budiardjo
(2008:486) menyatakan bahwa :
Sistem
pemilihan yang digunakan ialah Sistem
Proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah
penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili oleh 1 anggota DPR. Menggunakan
Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar Bebas.
Djoened
Poesponegoro (1993:517) menyatakan bahwa (pemilu pada zaman orde baru) :“Asas
pemilihan bersifat umum dan rahasia, adapun sistem pemilihan memakai sistem
perwakilan berimbang dengan stelsel daftar.”
BAB III
PEMBAHASAN
Di kebanyakan negara demokrasi,
pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolakukur dari demokrasi itu sendiri.
Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suatu keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dianggap mencerminkan akurasi partisipasi masyarakat.
Sistem Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu
keputusan kelembagaan yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk
menegakkan keberadaban dan keberkualitasan sistem politik. Karena sistem
pemilihan umum akan menghasilkan logika-logika politik, atas laksana
administrasi, berjalannya birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya civil
society di dalam sistem itu. Maka dari itu, sejatinya, sistem pemilihan
umum menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan sesederhana seperti yang
diwacanakan oleh banyak pihak. Jarang sekali sistem pemilihan umum dipilih
secara sadar (rasional) dan disengaja oleh elite-elite politik di banyak
negara. Seringkali pemilihan sistem tersebut datang secara kebetulan, karena
adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi secara simultan, atau karena trend
yang menjadi tofik hangat, atau karena keajaiban semata.
Oleh karena jarangnya sistem pemilihan umum yang
dirancang secara seksama untuk memenuhi kondisi historis dan sosio-politik
suatu negara, maka sistem pemilihan umum yang dikonstruksi oleh suatu lembaga
pemerintahan seringkali berorientasi pada kepentingan atas pemenuhan pertahanan
status-quo dibandingkan menumbuhkan dan mengembangkan kebermaknaan politik
logika-logika yang digunakan oleh rezim berkuasa ketika menetapkan sistem
pemilihan umum dalam suatu negara biasanya didasarkan atas logika demokrasi prosedural
dibandingkan dengan demokrasi sejati pilihan sistem pemilihan umum dalam
demokrasi yang sejati seharusnya dapat memastikan bahwa pembagian politik dari
suatu masyarakat (entah itu dilihat dari sisi: religiositas, etnisitas,
sosio-kultural, hingga sosio-ekonomi) diperhatikan secara layak oleh kerangka
hukum pemilihan umum, sehingga pertentangan dan perbedaan utama yang disediakan
dalam iklim demokrasi dapat diakomodasikan melalui sistem perwakilan politik
(dalam hal ini sistem pemilihan umum).
Dalam ilmu politik dikenal
bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi
umumnya berkisar pada beberapa prinsip pokok, yaitu:
a.
Single-member Constituency atau yang
kita kenal dengan Sistem Distrik.
b.
Multi-member Constituency atau yang kita
kenal dengan Sistem Proporsional.
c.
Gabungan sistem Distrik dan Sistem
Proporsional.
3.1
Sistem
Distrik
Dalam sistem distrik, satu wilayah
kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal atas dasar
pluralitas. Sistem distrik adalah sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (biasanya disebut
distrik) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara
dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam sistem distrik, satu distrik
menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi,
dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini
dinamakan the first past the post
(FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun
selisihnya tidak jauh berbeda dengan partai lain. Suara yang tadinya mendukung
kontesstan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya
untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain.
Sistem distrik sering dipakai di
negara yang mempunyai sistem dwi partai seperti Inggris serta bekas jajahannya
seperti India dan Malaysia dan Amerika.
Dalam sistem distrik dapat terjadi
bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat
membentuk kabinet. Pemerintahan semacan ini dinamakan minority government.
Selain itu, ada ciri khas yang
melekat pada sistem distrik, yaitu pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan
“distorsi” atau kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai
secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari
distorsi menguntungkan partai besar melalui over-representation. Hal ini
disebabkan karena banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atas
wasted, yaitu lantaran tidak berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik.
3.1.1 Keuntungan
Sistem Distrik
1)
Sistem ini lebih mendorong ke arah
integrasi partai-partai olitik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap
distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk
menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama,
sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum.
2)
Fragmentasi partai dan kecenderungan
membentuk partai baru dapat dibendung, malahan sistem ini bisa mendorong ke arah
penyederhanaan partai secara alami tanpa paksaan.
3)
Karena kecilnya distrik, maka wakil
yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya,
sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil
akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula
kedudukannya terhadap pimpinan partainya akan lebih independen, karena faktor
kepribadian seseorang merupakan faktor penting dalam kemenangannya dan
kemenangan partai.
4)
Bagi partai besar sistem ini
menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari
pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas.
5)
Lebih mudah bagi suatu partai untuk
mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan
koalisi dengan partai lain.
6)
Sistem ini sederhana dan murah untuk
diselenggarakan.
3.1.2 Kelemahan Sistem Distrik
1)
Sistem ini kurang memperhatikan
kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika
golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
2)
Sistem ini kurang representatif
dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan
suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan atau terbuang sia-sia.
3)
Sistem distrik dianggap kurang efektif
dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan
tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang
terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya
sistem.
4)
Ada kemungkinan si wakil cenderung
untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga
distriknya, daripada kepentingan nasional.
3.2
Sistem
Proporsional
Dalam sistem proporsional, satu
wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi
sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa
menghiraukan distribusi suara itu.
3.2.1 Keuntungan
Sistem Proporsional
1)
Sistem proporsional dianggap
representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah
suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
2)
Sistem proporsional dianggap lebih
demokratis karena tidak ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional
dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.
Akibatnya, semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, memperoleh
peluang untuuk menampilkan wakilnya dalam parlemen. Rasa keadilan masyarakat
banyak terpenuhi.
3.2.2 Kelemahan
Sistem Proporsional
1)
Sistem ini kurang mendorong
partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan
memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya cenderung
mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini umumnya dianggap berakibat menambah
jumlah partai.
2)
Sistem ini mempermudah fragmentasi
partai, jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan
diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi
partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui
pemilihan umum. Jadi, kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai.
3)
Sistem proporsional memberikan
kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sistem daftar karena pimpinan
partai menentukan daftar calon.
4)
Wakil yang terpilih kemungkinan
renggang ikatannya dengan konstituennya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar
sehingga sukar untuk dikenal orang banyak. Kedua, karena peran partai dalam
meraih kemenangan lebih besar ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian
si wakil akan lebih terdorong untk memerhatikan kepentingan partai serta
masalah-masalah umum ketimbang kepentingan distrik serta warganya.
5)
Karena banyaknya partai yang
bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen, yang
diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar terpaksa
berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh suara mayoritas.
3.3
Gabungan
Sistem Distrik Dan Sistem Proporsional
Dari uraian
tentang sistem distrik dan sistem proporsional tadi, menjelaskan bahwa kedua
sistem pemilihan umum memiliki segi yang positif dan negatif. Maka dari itu
beberapa negara mencoba mengambil alih beberapa ciri dari sistem pemilihan umum
yang lain. Seperti Singapura dan Jepang yang menggunakan sistem distrik dengan
beberapa pengecualian yang dipakai pada sistem proporsional.
Kasus yang
paling terlihat adalah proses pemilihan umum di negara Jerman. Pada masa
lampau, Jerman mempunyai partai politik yang banyak dan memakai sistem
proporsional murni, dewasa ini menggabung kedua sistem dalam pemilihan umum.
Setengah dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan
sistem proporsional. Setiap pemilihan mempunyai dua suara; pemilih memilih
calon atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih
partai atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan
penggabungan ini diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya.
Selain itu,
di Jerman dan dibeberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi
jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui kebijakan
electroral thresold. Konsep ini menentukan jumlah suara minimal yang diperlukan
oleh suatu partai untuk memperoleh kursi dalam parlemen misalnya 5%.
Di Jerman, dilaksanakan
melalui kebijakan memberlakukan rumus lima-tiga. Berdasarkan rumusan ini sebuah
partai memperoleh kursi dalam parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara
secara nasional atau memenangkan sekurang-kurangnya 3% distrik pemilihan. Ini
yang dinamakan electoral thresold. Ternyata kebanyakan partai kecil cenderung
memanfaatkan ketentuan suara minimal 5% sebab memenangkan distrik lebih sukar.
Negara-negara
lain yang menentukan electoral thresold adalah Swedia, Italia, dan Indonesia
(mulai 2004) untuk pemilihan badan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan
untuk pemilihan Presiden dan Wapres 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari
perolehan suara sah secara nasional.
3.4
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan demokrasi suatu negara,
khususnya di negara-negara dunia ketiga, pertama, melalui pemilu memungkinkan
suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai. Kedua, melalui pemilu akan
tercipta pelembagaan konflik. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan suatu
pemilu yang bebas dan adil. Sebab jika tidak, akan mengundang protes massa untuk
menentang penyelewengan dalam penyelenggaraan kekuasaan, yang tidak jarang dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
Secara konseptual, terdapat dua
mekanisme untuk menciptakan pemiluyang bebas dan adil. Pertama, menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil, atau yang disebut oleh banyak kalangan ilmuwan politik disebut
dengan sistem pemilihan (electoral sistem).Kedua, menjalankan
pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip
demokrasi, atau yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut dengan proses pemilihan (electoral process).
Pemilihan Umum yang bebas dan adil, dapat melahirkan
partisipasi dari para pemilih yang
secara sukarela menentukan pilihannya dalam
proses pemilihan umum tersebut. Dan memungkinkan
untuk mengurangi fenomena golput terutama dari kalangan usia muda. Saat ini di Indonesia mulai diberlakukan pemilihan umum secara langsung. Ini merupakan upaya untuk menciptakan
demokratisasi di Indonesia.
Apabila disepakati
bahwa kualitas sistem demokrasi akan ditentukan oleh kualitas proses seleksi
para wakil rakyat, dapat dianggap bahwa pemilihan umum legislatif merupakan suatu keniscayaan politik. Ada
sejumlah argumen mengapa pemilihan umum
merupakanagenda politik yang mendesak dalam rangka memperbaiki kehidupan demokrasi
bangsa ini, terutama berkaitan dengan pelaksanaannya secara langsung memilih orang dan partai
politik tertentu.
Dalam prakteknya,
untuk melakukan pembangun politik, sistem pemilihan umum yang akan
diimplementasikan membutuhkan prakondisi yang cukup kompleks. Berbagai aspek
berikut ini, perlu diperhatikan dengan tujuan untuk meningkatkan kualiatas dan
keadaban dari sistem demokrasi yang sedang dibangun tersebut. Beberapa hal yang
dimaksud, yaitu :
1) Salah satu fungsi utama dari sistem pemilihan umum adalah
membentuk parlemen yang representatif baik secara: geografis maupun kultural
(komunitas). Dengan adanya pemilu ini diharapkan terpilihnya individu yang
berkualitas pada badan perwakilan. Dengan terpilihnya individu-individu yang
berkualitas tersebut diharapkan kepentingan dan kebutuhan publik yang beragam
dapat diakomodasi secara baik.
2) Menyediakan sarana bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara sulit dapat dipungkiri bahwa sistem pemilihan umum tidak hanya berusaha
untuk mengonstruksi pemerintahan untuk berkuasa, tapi juga sistem pemilihan
umum seringkali diharapkan oleh banyak pihak dapat mengatasi konflik. Untuk
konteks yang luas/konflik, secara relatif, dapat diredam melalui pemilihan umum
yang dipersepsikan oleh warganya berlangsung dengan transparan, jujur, serta
adil. Dengan adanya pemerintahan yang legitimate tentu saja persatuan dan
kesatuan yang terancam oleh karena berkobarnya konflik dapat diredam secara
akomodatif dan gradual.
3) Tegaknya akuntabilitas dan responsibilitas pemerintah
serta wakil rakyat. pertanggung gugatan dan pertanggungjawaban merupakan salah
satu unsur penting dari pemerintahan perwakilan. Karena logika dasar sistem
perwakilan adalah adanya kemampuan kontrol atau pengawasan dari publik pada
pemerintah yang dipilihnya. Sistem pemilihan umum yang baik tentu saja akan
menyediakan mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas para wakil rakyat dan
pemerintah terpilih pada publiknya. Ini artinya bahwa para pemilih (voters)
diharapkan juga mampu untuk mempengaruhi sepak-terjang pemerintah apabila
memang pengejawantahan dari formulasi dan implementasi yang dilakukan tidaklah
dapat dipertanggung-gugatkan dan pertanggung-jawabkan.
4) Mendorong terbangunnya oposisi loyal di parlemen.
Pemerintah yang berkualitas dan beradab tidak hanya ditentukan oleh
aktivitasnya semata, tetapi juga amat tergantung pada masukan dari rezim
oposisi di parlemen. Karena itu, sistem pemilihan umum harus menjamin lahirnya
oposisi loyal yang aktif. Dengan adanya oposisi loyal yang aktif di parlemen
diharapkan terinstitusionalisasinya aktivitas-aktivitas, seperti: penilaian
atas formulasi kebijakan secara kritis, penjaminan hak-hak minoritas, dan
mewakili konstituennya secara efektif. Phobia atas demokrasi yang membenarkan
"winner take all" perlu diperbaiki dalam konteks demokrasi
yang beradab melalui sistem pemilihan umum, dengan menyediakan oposisi loyal di
parlemen.
5) Adanya pemerintahan yang stabil dan efisien. Terbangunnya
pemerintahan yang stabil dan efisien, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh
faktor, apakah sistem pemilihan umum yang mengada dapat melahirkan sistem
politik yang berkualitas dan beradab. Kualitas dan keberadaban sistem politik
khususnya rezim berkuasa, tentunya dipengaruhi oleh dukungan yang luas dari
warga masyarakat. Legitimasi yang terbangun atas dukungan yang luas dari publik
tentu saja, secara relatif, meniadakan perbedaan yang tajam dalam suatu sistem
politik, sehingga mampu menghidupkan nuansa kepemerintahan yang berujung pada
stabilitas dan efisiensi kerja. Legitimasi memang diperlukan oleh pemerintah
untuk menjalankan berbagai aktivitasnya.
Sejak
kemerdekaan hingga tahun 2014 kemarin, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan
pemilihan umum yaitu pemilu pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004, 2009 dan 2014. Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan
dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut
menentukan hasil pemilu itu sendiri.
3.4.1
Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pemilihan umum yang pertama
terselenggara pada tahun 1955 dengan kabinet Burhanuddin Harahap. Pada pemilu
itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali untuk memilih anggota
DPR pada bulan September dan satu kali untuk memilih anggota Konstituante pada
bulan Desember. Sistem pemilihan yang digunakan ialah sistem proporsional. Pada
waktu itu sistem ini merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang dikenal
dan dimengerti oleh para pemimpin negara.
Pemilihan umum berlangsung sangat
demokratis, tidak ada pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari
pemerintah untuk mengadakan intervensi terhadap partai-partai sekalipun
kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai
dan satu perorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Dengan terdapat partai yang perolehan suaranya sangat
menonjol, yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI. Bersama-sama mereka meraih 77% kursi
di DPR. Sebaliknya beberapa partai yang tadinya memainkan peranan penting dalam
percaturan politik ternyata hanya memperoleh beberapa kursi.
Namun stabilitas politik yang sangat
diharapakan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah
selama dua tahun dan terdiri atas koalisi Tiga Besar: Masyumi, PNI dan NU
ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan. Dengan pembubaran
Konstituante oleh Presiden Soekarno, zaman Demokrasi Parlementer berakhir dan
kemudian mulai zaman Demokrasi Terpimpin.
3.4.2
Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah
runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter ada harapan besar di
kalangan masyarakat untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokratis
dan stabil. Berbagai forum diskusi diadakan seperti misalnya Musyawarah
Nasional III Persahi 1966 dan Simposium Hak Asasi Manusia Juni 1967.
Salah
satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum. Pada saat itu diperbincangkan
tidak hanya sistem proporsional yang sudah lama dikenal, tetapi juga sistem
distrik. Seminar berpendapat bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah
partai politik secara alamiah tanpa paksaan. Diharapkan partai-partai kecil
akan merasa berkepentingan untuk bekerja sama dalam usaha meraih kursi dalam
suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa
stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan terutama dibidang ekonomi. Namun putusan seminar yang
kemudian dituangkan dalam suatu RUU ditolak oleh partai-partai dalam DPR pada
tahun 1967. Dikhawatirkan sistem distrik akan merugikan eksistensi
partai-partai politik dan juga karena ada usul untuk memberikan jatah kursi DPR
kepada ABRI.
Dengan
ditolaknya sistem distrik maka semua pemilihan umum yang dilaksanakan memakai
sistem proporsional. Sebagai akibatnya, sistem proporsional tahun 1955 tetap
menjadi pilihan namun dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah
tingkat II (kabupaten/kotamadya) dijamin mendapat satu kursi di DPR. Hal ini
dimaksudkan untuk menyeimbangkan jumlah anggota DPR dari Jawa dan luar Jawa,
karena jumlah pemilih di Jawa jauh lebih banyak dari jumlah pemilih di luar Jawa. Kedua, dari 460
anggota DPR, 100 diantaranya diangkat, yaitu 75 anggota diangkat dari ABRI dan
25 lainya dari non-ABRI. Yang non-ABRI ini diangkat dari Utusan Golongan dan
Daerah. Berdasarkan kompromi antara partai-partai dan pemerintah, yang
dinamakan Konsensus Nasional, maka pemilihan umum 1971 diselenggarakan dengan
10 parpol. Untuk perimbangan jumlah anggota parlemen dan penduduk dibubat
perbandingan 1:400.000.
Karena
gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden
Suharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama ialah mengadakan fusi di antara partai-partai.
Dihadapan partai-partai, Presiden Soeharto pada tahun 1973 mengemukakan saran
agar mereka mengelompokkann diri dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual,
golongan Nasional, Golongan Karya, sehingga hanya tinggal 3 partai politik
yaitu Golkar, PPP, dan PDI.
Maka mulai tahun 1977 pemilihan umm
diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai. Golkar selalu menang secara
meyakinkan dan meraih kedudukan mayoritas serta mutlak. Tindakan lain yang
menguntungkan Golkar dimuat dalam UU. No 3 tahun 1975, bahwa kepengurusan
partai-partai terbatas pada ibu kota tingkat pusat, Dati I, Dati II. Ketentuan
ini kemudian lebih dikenal dengan istilah massa mengambang. Dalam praktik
peraturan itu menguntungkan Golkar karena dua partai hanya dibenarkan aktif
sampai ke tingkat kabupaten atau Dati II, padahal Golkar bebas untuk bergerak
sampai ke tingkat desa, dimana ia bekerja sama dengan aparat pemerintah.
Perbedaan itu dimungkinkan karena pada waktu itu Golkar tidak dianggap sebagai
partai. Selain dari itu, dalam pelaksanaan sehari-hari aparat pemerintah mengatadakan
intervensi berlebihan, terutama di daerah-daerah terpencil dalam usaha mencapai
target yang telah ditentukan.
Hasil
Pemilu Umum dengan Tiga Kontestan 1977-1997
1977
|
1982
|
1987
|
1992
|
1997
|
|
GOLKAR
|
232
|
242
|
299
|
282
|
325
|
PPP
|
99
|
94
|
61
|
61
|
89
|
PDI
|
29
|
24
|
40
|
50
|
11
|
TOTAL
|
360
|
360
|
400
|
400
|
425
|
Jika meninjau perkembangan sistem
pemilihan umum di Indonesia, dapat ditari berbagai kesimpulan. Pertama,
keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah
keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan
suara nasional dengan jumlah kursi di DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 1945
bahwa DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan,
karena tidak ada lagi gejala sering terjadinya pergantian kabinet seperti di
zaman Demokrasi Parlementer. Ketiga, tidak ada lagi fragmentasi partai karena
yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha mendirikan partai
baru tidak bermanfaat lagi dan tidak diperbolehkan.
3.4.3 Zaman Reformasi (Perdebatan di Awal Masa
Reformasi 1998-1999)
Pada
awal Reformasi Indonesia dihadapkan pada masalah sistem pemilihan umum yang
ingin dirubah total dari masa sebelumnya. Persoalan yang mengemuka diantaranya
adalah lemahnya peran parlemen dibandingkan dengan institusi eksekutif, dan
kurang menonjolnya fungsi para legislator di parlemen dalam menjalankan fungsi
yang amanatkan. Selain itu juga disoroti ketidakmampuan sistem politik dalam
membangun demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sebagian kalangan menganggap bahwa
kesulitan dalam membangun sistem demokrasi
disebabkan karena sistem pemilu dan sistem kepartaian yang diiberlakukan dan
pola rekrutmen legislatif tidak berjalan efektif.
Seperti
juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubaha fundamental.
Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara
bebas, termasuk mendirikan parpol baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam
pemilu 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada
pemilu 2004 untuk pertama dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil presiden
dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru yaitu
Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepeningan daerah secara khusus.
Keempat, diadakan “electrolal Threshold” yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan
legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan
legislatif pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik
harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5%
dari perolehan suara sah secara nasional.
Pemilihan
umum 1999 diikuti oleh 48 partai. Yang kemudian berhasil masuk DPR adalah 21
partai. Sistem pemilihan umum yang dipakai tidak terlalu berbeda dengan yang
dipakai pada pemilihan umum sebelumnya. Landasan hukumnya adalah UU No. 2 Tahun
1999.
Pada tahun 2004
diadakan tiga pemilihan umum, yaitu pertama pemilihan legislatif, sekaligus
untuk memilih anggota DPD; kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden putaran
pertama; ketiga, pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua. Pemilihan
umum legislatif dilaksanakan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan diikuti 24
partai, tujuh diantaranya masuk DPR yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, Partai
Demokrat, PKS, dan PAN.
Tahun
|
Sistem
Pemilihan Umum 1955-2004
|
1955
|
Menggunakan
Sistem Proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan
jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR. Menggunakan
Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar Bebas. Pemilih dapat memberikan
suaranya kepada calonyang ada di dalam daftar. Dan bisa juga diberikan kepada
partai. Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai
perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada
partai oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomer urut. Seseorang
secara perorangan tanpa melalui partai juga dapat menjadi peserta pemilihan
umum.
Calon
yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD. Apabila tidak ada
calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai
akan menentukan. Calon dengan nomor urut teratas akan diberi oleh suara
partai, namun prioritas diberikan kepada calon yang memperoleh suara
melampaui setengah BPPD. Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan
akan dibagi di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa-sisa suara dari
daerah-daerah pemeilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi.
|
1971
1977
1982
1987
1992
1997
|
Menggunakan
Sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suara
hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan
nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon
dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi.
Untuk
pemilihan umum anggota DPR Daerah, pemilihannya adalah wilayah provinsi;
sedangkan untuk DPRD I, daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang
bersangkutan; dan untuk DPRD II, daerah pemilihannya wilayah Dati II. Namun
ada sedikit warna Sistem Distrik di dalamnya, karena setiap kabupaten diberi
jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.
Pada
pemilihan umum tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
|
2004
|
Ada
satu lembaga baru di dalam lembaga legislatif, yaitu DPD (Dewan Perwakilan
Daerah). Untuk pemilihan umum anggota DPD digunakan sistem Distrik tetapi
dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap provinsi). Daerah pemilihannya
adalah wilayah provinsi. Pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi
atau daerah pemilihan mempunyai jatah 4 kursi, dan suara dari kontestan yang
kalah tidak bisa dipindahkan atau dialihkan maka sistem yang digunakan disini
dapat disebut Sistem Distrik dengan wakil banyak (block vote).
Untuk
pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan Sistem Proporsional dengan Stelsel
Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung
kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih memberikan suaranya kepada
partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk
terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon
yang berada di urutan teratas. Jadi, ada kemiripan sistem yang digunakan
dalam pemilu anggota DPR dan DPRD pada Pemilihan Umum 2004 dengan Pemilihan
Umum 1955. Bedanya, pada Pemilihan Umum 1955 ada prioritas untuk memberikan
suara partai kepada calon yang memperoleh suara lebih dari setengah BPPD.
Dari
sudut pandang gender, Pemilihan Umum 2004 secara tegas memberi peluang lebih
besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No. 12/2003
menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan
DPRD dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk
setiap daerah pemilihan. Ini adalah sebuah kemajuan yang lain yang ada pada
Pemilihan Umum 2004.
Juga
ada upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui
cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi partai-partai
yang akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat baik
administratif maupun subtansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk
bisa menjadi peserta pemilihan umum. Antara lain; ditentukannya electroral
threshold dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi anggota badan
legislatif pusat, memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD
provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi di
seluruh Indonesia; atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di setengah jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia.
Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, memperoleh sekurang-kurangnya 3%
jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah
secara nasional.
|
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam sistem distrik, satu distrik
menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi,
dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini
dinamakan the first past the post
(FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun
selisihnya tidak jauh berbeda dengan partai lain. Suara yang tadinya mendukung
kontesstan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya
untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain.
Sistem distrik sering dipakai di
negara yang mempunyai sistem dwi partai seperti Inggris serta bekas jajahannya
seperti India dan Malaysia dan Amerika. Dalam sistem distrik dapat terjadi
bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat
membentuk kabinet. Pemerintahan semacan ini dinamakan minority government.
Selain itu, ada ciri khas yang melekat pada sistem
distrik, yaitu pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan “distorsi” atau
kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan
jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari distorsi menguntungkan
partai besar melalui over-representation. Hal ini disebabkan karena banyak
suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atas wasted, yaitu lantaran tidak
berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik.
Dalam sistem proporsional, satu
wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi
dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional
tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Setengah dari parlemen dipilih
dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap
pemilihan mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar sistem distrik
(sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai atas dasar sistem
proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan distorsi
tidak terlalu besar efeknya.
Negara-negara lain yang menentukan
electoral thresold adalah Swedia, Italia, dan Indonesia (mulai 2004) untuk pemilihan
badan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan
Wapres 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah secara
nasional.
Pada zaman Orde
Lama, Indonesia menggunakan Sistem Proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan
berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota
DPR. Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar Bebas.
Sedangkan pada
zaman Orde Baru, Indonesia menggunakan Sistem Proporsional dengan Stelsel
Daftar Tertutup.
Pada pemilihan umum 2004 Indonesia
mulai menggunakan sistem pemilihan gabungan. Dari sistem distrik dan sistem
proporsional. Karena pada pemilu di tahun tersebut, pemerintah menggunakan
electoral thresold sebagai upaya untuk menyeleksi partai politik yang sudah
lolos uji kelayakan untuk mengikuti proses pemilihan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Djoened Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto.
1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
MASSA REUNI 212 DIMINTA PUNGUTI SAMPAH, TAK INJAK RUMPUT, DAN ISI KOTAK AMAL
ReplyDelete