“Selamat pagi bu guruuuuu......” teriak semua murid.
“Ok, sekarang keluarkan buku Bahasa Indonesianya ya. Tapi sebelum pelajaran
dimulai, ibu absen kalian terlebih dahulu.”
“Baik bu.” semua murid menurutinya. Risa pun mulai mengabsen anak-anak didiknya
satu-persatu.
“Tok.. tok.. tok..” terdengar suara pintu kelas diketuk. Risa bangkit dari
kursinya lalu berjalan menuju ke arah pintu. Setelah pintu terbuka, ia melihat
seorang anak laki-laki berambut ikal sedang berdiri di luar sambil mengendong
tas berwarna merah.
“Maaf, adik siapa ya?” tanya Risa.
“Mmmm.... Namaku Riza. Aku murid pindahan dari Jakarta.” jelas si anak
tadi.
“Oh mungkin dia anak baru yang diceritakan kepala sekolah tadi pagi.” batin
Risa.
Dengan tutur kata yang lembut, Risa mengajak anak itu masuk ke dalam kelas
dan mempersilahkan ia memperkenalkan diri pada teman-teman barunya.
“Anak-anak, ibu punya teman baru untuk kalian.”
“Horeeeeee....” semua murid terlihat bergembira.
“Riza, ayo perkenalkan dirimu.” ajak Risa.
“Hai teman-teman! Namaku Riza Herdiansyah. Umurku sekarang 10 tahun. Aku
pindahan dari Jakarta. Senang bertemu dengan kalian.” sapa Riza sedikit
malu-malu.
“Riza Herdiansyah ya?! Wait. Sepertinya nama itu gak asing di telingaku?”
Risa terlihat memikirkan sesuatu. Otaknya mencoba membuka kembali memori yang
telah lama berlalu.
***
“Sepertinya kalian berdua memang pasangan yang cocok.” Airin kembali
menggoda.
Lagi-lagi ucapan itu menyudutkan Risa. Entahlah, semenjak ia dan Riza
memenangkan kontes MoKa (Mojang Jajaka) beberapa waktu lalu, semua perhatian
warga satu sekolah langsung tertuju pada mereka. Risa dan Riza dianggap sebagai
pasangan yang paling serasi. Bahkan ada salah satu guru yang memanggil mereka dengan
sebutan ‘Romeo-Julietnya SMA 3’. Kalau Riza tidak masuk, guru itu akan bertanya
langsung pada Risa perihal absennya Riza, begitu pun sebaliknya. Terlebih lagi,
absen mereka saling berdempetan, jadi gampang diingat. Seperti ini :
16
|
Naufal Fadillah
|
17
|
Risa Iqlima Fairuz
|
18
|
Riza Ahmad Mutaqqin
|
19
|
Ulfah Khoirunnisa
|
20
|
Umar Ar-Rasyid
|
(Namanya juga akal-akalan penulis, jadi sah-sah aja.Wkwkwk)
“Ikutan gabung dong, ada gosip baru lho?!” Siska menyela pembicaraan Risa
dengan Airin.
(Jehhhh... Ini anak hobinya ngegosiiiiiiiiiip mulu. Sekali-kali doyannya
sama pelajaran kek?!! *Harap untuk tidak ditiru, BERBAHAYA*)
“Tadi pas pulang dari ruang Wakasek, aku baca-baca dulu mading di depan
kelas XII IPS-3. Tau gak Ris? Ternyata Riza jago juga bikin puisi! Disitu
terpampang karyanya yang berjudul ‘Kurahap Kamulah Bidadari Surgaku’. Nah usut
punya usut nih, kata Denis, Riza buat puisi itu khusus buat kamu” telunjuk
Siska mengarah pada diri Risa. Risa hanya tersenyum simpul mendengar penjelasan
konyol sahabatnya itu.
“Kok cuman senyum doang? Kamu gak bahagia mendengar kabar baik yang aku
ceritakan barusan?” Siska mulai bingung.
“Yaa habis mau gimana lagi? Apa yang dikatakan Denis itu belum tentu benar.
Lagian kamu mau-maunya percaya sama si Datuk Maringgih. Udah tau dia orangnya nguaaaco.”
(Kami memanggil Denis dengan sebutan Datuk Maringgih karena ia adalah anak orang
paling kaya di kelas. Ayahnya seorang manager dan ibunya adalah seorang dokter
ahli. Kalau kita gak punya uang jajan, gak usah khawatir! Kan ada Denis! (begitulah
kira-kira :v). Syaratnya gampang kok. Tinggal gombalin dia aja, contohnya seperti
ini : “Kok loe makin hari keliatan makin ganteng ya Den? Gaya rambut loe juga up to date banget. ”. Percaya deh! Tanpa
diminta pun ia akan dengan mudahnya memberi kita uang. Hehehe.. Modussssss!!!)
***
Riza Ahmad Mutaqqin. Ia adalah satu-satunya pria yang berbeda diantara
semua pria yang pernah kukenal. Meskipun ia berwajah tampan, ia tidak pernah
segan untuk sekedar berjualan nasi kuning buatan ibunya dan menjajakannya ke
setiap kelas. Sering kudengar banyak adik-adik kelas khususnya anak perempuan
yang terpesona dengan keramahan dan ketampanan Riza. Bahkan salah satu diantara
mereka menamai Riza dengan sebutan ‘Pangeran Tampan Penjual Nasi Kuning’. Risa tertawa
kecil mengingat kembali semua itu.
“Kok ibu malah ketawa sih??” Kevin, sang ketua kelas bertanya.
“Ya ampuuun!. Dari tadi ternyata aku hanya melamun” gumam Risa.
“Oh iya. Senang bertemu denganmu juga Riza. Mulai sekarang kalian semua berteman.
Kamu boleh duduk di sebelahnya Farel.”
“Terima kasih bu.” sahut Riza.
Usai jam pelajaran berakhir Risa bergegas pulang menuju rumah. Sebelum
sempat membuka pintu, tangannya meraih sebuah kartu undangan pernikahan yang
tergeletak begitu saja di atas meja teras rumah. Ia lalu membuka dan membaca
isi undangan itu.
“Hmmm... Denis udah mau nikah?” Alis Risa sebelah kanan sedikit terangkat.
***
Tepatnya di hari Sabtu, Risa pergi memenuhi undangan temannya itu. Tak lupa
ia juga sudah mempersiapkan sebuah kado
yang dibungkus kertas berwarna coklat. Nanti kalau lupa dibawa, jangan-jangan
Denis bisa nangis darah. Hahhah (gak juga sih, dia kan orang kaya -_-)
Akad nikah berlangsung dengan khidmat. Kedua pasang pengantin terlihat
begitu bahagia.
“Cieeee... Selamat ya Denis. Ngomong-ngomong istrimu ini orang mana?”
“Hehehe.. Makasih Ris. Dia asli Sumatera, tepatnya dari kota Padang.”
“Wah cocok dong! Akhirnya Datuk
Maringgih menikah juga dengan Siti Nurbaya. Hehe”
Denis mengernyit, maklum dia itu lolanya agak berabad-abad. Ckckck
“Ris, kapan mau nyusul?” Denis bertanya.
Risa tediam. Ia tahu Denis berkata
benar.
“Nanti, kalau udah waktunya aku pasti nikah kok. Hehe.” Risa berusaha
tersenyum walau agak sedikit tersinggung.
“Ya deh, aku tunggu undangannya ya. Eh,.. Hello bro! Kemana aja loe?” Denis
terdengar berbicara dengan seseorang. Namun Risa malas untuk menoleh. Ia masih
terpaku memikirkan pertanyaan Denis barusan.
“Alhamdulillah baik Den. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah,
warohmah ya.”
Tiba-tiba Denis menarik tangan Risa yang mulai beranjak meninggalkan
pelaminan.
Brukkkkkk!!!!!
Bahu Risa terasa menyentuh seseorang. Dalam hitungan detik mereka saling
berpandangan.
“Tuh kan cocok! Sama-sama warna biru. Kode alam nih?!” sahut Denis.
Tanpa diduga, pria yang berbicara pada Denis tadi adalah Riza.
“Memangnya mereka siapa bang?” tanya si pengantin wanita kepada Denis.
“Romeo-Julietnya SMA 3. Hehe.. Udah deh kalian emang berjodoh kayaknya!
Nama hampir sama. Yang laki-laki namanya Riza, yang perempuan namanya Risa.
Riza orangnya tampan, shaleh, dan pekerja keras. Risa orangnya cantik, shalehah
juga pinter. Kurang apa lagi coba?”
“Hehe.. udah ya bercandanya Den.” Risa mulai terlihat risih dengan semua
pujian Denis yang ditujukan kepadanya. Ia pun bergegas meninggalkan pelaminan
dan berbaur dengan para tamu undangan.
Di keramaian pesta, Risa termenung dan bertanya pada dirinya sendiri.
Kenapa ia belum menikah sampai saat ini? Padahal teman-teman perempuan yang
sekelas dengannya semuanya sudah bersuami, bahkan sudah memiliki anak. Termasuk
kedua sahabatnya, Siska dan Airin. Tinggal dia seorang saja yang belum menikah.
Sebenarnya sudah ada beberapa pria yang melamarnya, namun Risa selalu menolak.
Bukannya Risa terlalu pemilih, tapi ia merasa masih belum ada yang cocok
dengannya. Itu saja.
***
Jreng jreng. Sekarang tanggal 24. Bulan Februari akan segera berakhir. Risa
lalu membuka agenda dalam notebooknya.
MARET 2013
No
|
Tanggal
|
Catatan
|
1
|
3
|
Bayar Listrik
|
2
|
9
|
Seminar
|
3
|
13
|
Keponakan ultah
|
4
|
15
|
Silaturahmi ke rumah kepala sekolah yang dulu (Dra. Hj.
Iis Rodiah S.Pd)
|
5
|
17
|
Outbond
|
6
|
22
|
MENIKAH ^_^
|
7
|
||
8
|
||
9
|
||
10
|
Seketika senyumnya mulai memudar. Tak terasa air mata ini membasahi pelupuk
mata. Ya, ini memang impian Risa. Ia ingin sekali menikah di hari ulang
tahunnya yang sekarang. Dengan segenap keikhlasan hati, ia lalu mencoret
rencananya di tanggal 22.
Kring... kring.... Terdengar suara ponsel berbunyi. Ternyata Airin
menelepon.
“Assalamualaikum Rin, ada apa?”.
“Waalaikumussalam Ris. Gini, lusa katanya mau ada reuni jam 10.00 di
lesehan pak Mahmud. Letaknya di belakang sekolah kita dulu, yaa sekitar 100 m
ke arah utara. Yang deket taman bunga itu lho.”
“Oh iya iya, aku tahu. Kebetulan tiap hari Selasa aku libur. Insyaallah aku
kesana.”
“Siiip deh. Ris.... kamu gak apa-apa kan?”
“Emangnya kenapa?”
“Suaramu itu lho. Kayak yang udah nangis.”
“Oh ini. Aku kepedesan Rin. Habis makan seblak. Maklum cabe rawitnya
kebanyakan, jadi nangis kayak gini deh. Hehe.” (Risa terpaksa berbohong)
“Bener???”
“Iya Airin sayang. Hih, bawel!”
“Hehehe Iya, iya. Jangan marah dong
bu guru. Airin kan jadi takut, wkwk. Eh udah dulu ya, aku mau jalan-jalan dulu
sama anakku. Dadah Risa! Assalamualaikum.”
“Iya. Waalaikumussalam.”
***
Tiiiiiiiiiiiitttttt. Terdengar bunyi klakson dari luar.
“Risa ayo berangkat?” tanpa rencana terlebih dahulu, Siska menjemputnya ke
rumah.
“Eh Siska, subhanallah. Apa kabar? Pangling aku lihatnya. Suami dan anakmu
baik-baik saja kan?”
“Alhamdulilah aku dan keluargaku baik Ris. Pangling apanya? Perasaan aku yang
malah tambah minder kalau dekat kamu. Kamu kelihatan makin cantik aja Ris. Huh,
sebel.”
“Wkwkwk. Ada-ada aja. Tunggu sebentar ya.”
Setelah sampai di lesehan pak Mahmud, Airin yang sedari tadi menunggu,
memanggil Risa dan Siska untuk duduk bersamanya. Semua terlihat
berbincang-bincang satu sama lain.
“Ris mana calonmu? Kok kamu belum juga nikah sih? Gue aja udah nikah sama
pengusaha kaya.” sindir Bela.
“Alhamdulillah Bel. Aku turut bahagia mendengarnya.” Risa berusaha
tersenyum.
“Jelaslah, gue kan orangnya walaupun cantik tapi gak so’ kayak loe. Terlalu
pemilih! Mentang-mentang cantik. Ingat lho jangan keseringan nolak lamaran
orang. Nanti jadi perawan tua. Bentar lagi kan usiamu udah mau 28 tahun!”
Kata-kata Bela barusan sungguh menyayat hati Risa. Mata indahnya mulai
berkaca-kaca.
“Kamu itu keterlaluan banget ya Bel! Perasaan dari dulu kerjaanmu cuman
bikin Risa sedih aja. Mau kamu itu apa sih??!” Airin naik pitam melihat sahabatnya
terus disakiti oleh Bela.
“Emang bener. Dia itu kebanyakan gaya!” Bela terus melawan.
“Sudah hentikan! Tak sepantasnya kamu berbicara seperti itu, Bela. Aku
begitu mengenal Risa. Ia tidak seperti apa yang kamu katakan.” Riza akhirnya
ikut membela Risa.
“Halah, bohong! Terus kenapa dia gak nikah sampai sekarang? Ayo jawab?!!”
“Karena......................” dalam beberapa saat Riza berhenti berbicara.
Ia menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Karena aku belum melamarnya. Ia sebenarnya adalah calon istriku!”
Semua orang yang menghadiri reuni itu kaget mendengar perkataan Riza. Namun
Risa malah pergi meninggalkan mereka menuju ke arah taman. Ia malu. Air matanya
terus saja mengalir. Riza lalu menyusulnya.
Risa yang menyadari kehadiran Riza di belakangnya berkata :
“Aku tahu kamu itu orangnya baik Za. Kamu tidak pernah rela membiarkan
temanmu terluka. Tapi kali ini beda!! Bagiku semua itu hanya akan menambah
luka. Kamu tidak usah berakting di hadapan mereka hanya demi aku, Za. Sungguh,
aku tidak apa-apa.”
Riza paham betul perasaan Risa saat itu, ia lalu berkata :
“Risa, dengarlah. Aku tidak main-main. Ucapanku tadi begitu sakral,
bernilai ibadah sekaligus janji di hadapan Allah. Aku tidak mungkin mengingkarinya.
Aku mencintaimu Risa.”
Risa tersentak, ia masih tidak percaya dengan ucapan Riza barusan.
“Sebenarnya aku mengagumimu sejak dulu. Tapi aku takut kamu tidak memiliki
perasaan yang sama sepertiku. Soal kejadian tadi, entah kenapa aku seakan-akan
punya kekuatan lebih untuk mengutarakannya langsung di hadapanmu dan yang
lainnya. Kalau aku salah, maafkan aku.” Riza berjalan menjauhi Risa, ia berniat
membiarkan Risa sendiri dulu.
“Rencana Allah itu memang indah ya. :’)” suara Risa mulai terdengar meski
tak begitu jelas usai menangis tadi. Riza menghentikan langkah selanjutnya. Ia
menoleh kembali ke arah Risa, memastikan semuanya baik-baik saja.
“Maksudmu?” tanya Riza.
“Iya, kita punya perasaan yang sama. Aku juga mencintaimu, Za.” Risa
tersenyum.
“Benarkah?”
“Mana mungkin aku menolak orang yang selalu hadir dalam mimpiku meski aku
sama sekali tidak memikirkannya. Orang yang selalu membuatku tertawa walau
wujudnya tidak membersamaiku.?”
***
Hari bahagia itu tiba, tepatnya di tanggal 22 Maret. Catatan yang dulu
sebatas angan-angan kini telah berubah menjadi kenyataan. Seusai ijab qabul,
Riza menyanyikan sebuah lagu untuk Risa.
Aku bersyukur kau disini kasih
Di kalbuku mengiringi
Dan padamu ingin kusampaikan...
Kau cahaya hati
Dulu kupalingkan diri dari cinta
Hingga kau hadir ubah segalanya
Hooo..Inilah janjiku kepadamu...
Sepanjang hidup,
bersamamu
Kesetiaanku tulus
untukmu
Hingga akhir waktu
kaulah cintaku, cintaku...
Sepanjang hidup
seiring waktu
Aku bersyukur atas
hadirmu
Kini dan
slamanya.. Aku milikmu..
Yakini hatiku...
Kau anugerah Sang Maha Rahim
Semoga Allah berkahi kita
Temukan kekuatanku di sisimu
Kau hadir sempurnakan sluruh hidupku
Hooo.. inilah janjiku kepadamu
Bersamamu kusadari
inilah cinta
Tiada ragu
dengarkanlah kidung cintaku yang abadi
(Maher Zain – Sepanjang Hidup)
Risa berlinang air mata haru. Baginya ini adalah kado terindah yang selama
ini ia dapatkan. Menikah tepat di usianya yang ke-28 tahun.
Riza yang kini resmi menjadi suaminya bertanya : “Ada apa dengamu, wahai
bidadariku?”
“Engga mas. Aku begini karena aku terlalu bahagia. Allah begitu baik
kepadaku. Ia menghadiahkan engkau untuk menjadi pendamping hidupku.”
Riza tersenyum. “Semoga aku dapat menjadi imam yang baik bagimu dan
anak-anak kita nanti.” Riza mengecup kening istrinya dengan mesra.
“Aamiin, allohumma aamiin.”
*the end*
0 Response to "Happy 28!"
Post a Comment