Salah satu aktivitas yang cukup sering dilakukan oleh beberapa
kalangan aktivis Islam dalam merespon beberapa permaslahan di dunia
Islam salah satunya dengan aksi turun ke jalan, atau yang lebih dikenal
dengan istilah demonstrasi atau Muzhaharah.
Dan rupanya aktivitas ini mendapat kritikan dari jamaah tertentu
yang mengatakan bahwa aktvitas Muzharah tersebut merupakan suatu bid’ah,
karena tidak ada tuntunannya di dalam Islam, baik dari nash al qur’an
maupun al hadist. Mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi tersebut
merupakan suatu bid’ah dengan berdalil pada al hadist,
“Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan
termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.
“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.
Mereka juga berdalil dengan argument bahwa di dalam demonstrasi ada
tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir, padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Itulah beberapa argument yang dijadikan oleh para penentang aksi
demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa gerakan Islam di belahan bumi
ini.
Nah, bagaimanakah sikap kita? Tentu dengan tidak bermaksud ingin
mempertahankan pendapat atau ingin menunjukan sikap ashobiyyah terhadap
pendapat kelompok, karena ashobiyyah haram hukumnya di dalam Islam.
Tulisan ini hanya ingin memberikan gambaran tentang fakta tentang
demonstrasi serta menyuguhkan dalil-dalil terkait dengan akvtivitas
tersebut.
Islam mengajarkan bagaimana menghukumi sesuatu apakah halal, ataukah
haram, sunah, makruh ataukah mubah. Yakni pertama adalah melakukan
tahqiqul manath atau (penelaahan terhadap fakta), baru kemudian
menetapkan hukum syara’nya.
Fakta tentang demonstrasi
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhaharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di
tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah
menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran
dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan
pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik
individu.
2. Masirah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi
sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan
tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas
barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).
Dengan demikian, muzhaharah (demonstrasi) tidak diperbolehkan
(diharamkan) oleh Islam. Alasannya, di dalamnya disertai beberapa
aktivitas yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti: mengganggu
ketertiban umum; merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas umum
maupun barang-barang milik individu masyarakat. Tidak jarang pula,
demonstrasi mengakibatkan perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Pengharamannya di dasarkan pada fakta bahwa di dalam demonstrasi
terdapat sejumlah tindakan yang diharamkan oleh syariat Islam.
Aktivitas seperti ini adalah aktivitas meniru para sosialis yang
terbiasa melakukan aksi pengrusakan disela-sela aksi mereka. Hal ini
bisa dianggap sebagai aktivitas bertasyabuh dengan golongan tertentu.
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan
mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Meskipun demikian, ‘demonstrasi’ yang dilakukan dengan tertib;
memperhatikan syariat Islam, termasuk menyangkut pendapat/aspirasi yang
disampaikan; tanpa kekerasan; tidak mengganggu ketertiban umum dan
hak-hak masyarakat; tidak membakar, merusak, dan menghancurkan
barang-barang milik umum, negara, maupun milik individu adalah
diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan masirah (unjuk rasa).
Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslub) di antara
berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bir ar-ra’yi).
Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode
(tharîqah)—menurut Islam—dalam melakukan proses perubahan di masyarakat.
Apabila kondisinya memungkinkan, masirah (unjuk rasa) dapat dilakukan.
Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan, masîrah (unjuk rasa)
tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Masirah bukanlah metode dalam sebuah aktvitas dakwah. Ia hanya bersifat sebagai sebuah uslub dakwah, dan sebagai uslub dakwah ia bersifat mubah, bukan wajib.
Masirah bukanlah metode dalam sebuah aktvitas dakwah. Ia hanya bersifat sebagai sebuah uslub dakwah, dan sebagai uslub dakwah ia bersifat mubah, bukan wajib.
Kita bisa melihat fakta bahwa Rasulullah saw tidak pernah menjadikan
dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat
jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah
melakukan aktivitas masîrah satu kali di kota Makkah. Beliau
memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf
barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin
oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum
Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw
adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam
rangka mengekspose dakwah Islam.
Pandangan Islam yang menjadikan masirah (unjuk rasa) sebagai uslub
mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga
tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis.
Mereka menganggap muzhaharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode
baku (thariqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka,
demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan
masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan
mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan
membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik
individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah
menjadikan muzhaharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas
masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.
Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas
lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan
rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan
milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan
sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang
mereka angan-angankan.
Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhaharah)
seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan
cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik
masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah
seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya
haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat
Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat
rapat. Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam
hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya
hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah
‘menghalalkan segala cara’ (al-ghayah lâ tubarriru al-washilah),
sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan
Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa
Muslim wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan
aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan
proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang
Muslim mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam
mengungkapkan aspirasi/pendapat dan melakukan proses perubahan
masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka lakukan dengan
menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan
membuang tuntunan syariat Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan,
akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (QS
al-Ahzab [33]: 36)
Itulah sekilas fakta dan hukum tentang demonstrasi yang sedikit bisa
dijabarkan. adapun terkait dengan beberapa dalil yang menentang aksi
demonstrasi tersebut akan diraikan di bawah ini.
Mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi tersebut merupakan suatu Bid’ah
Dalil :
“Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan
termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.
“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.
Jadi, menurut mereka bahwa aktvitas tersebut tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah maupun para sahabat. Padahal jika kita kaji sirah
nabawiyah akan kita temui bahwa Beliau pernah memerintahkan kaum Muslim
keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar
ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib
r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi
Ka’bah.
hukum asal masirah itu sendiri mengikuti hukum uslub yang status
asalnya adalah mubah. Sebagaimana uslub (cara) yang lain, masirah
sebagai salah satu uslub juga bisa digunakan untuk melaksanakan
kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim
atau mengoreksi kebijakan mereka. Hal ini dalam rangka melaksanakan
sabda Nabi saw.:
«أَلاَ وَأَنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah
(menyatakan) pernyataan hak kepada penguasa yang zalim. (HR al-Hakim).
Mereka yang mengatakan bahwa menasehati penguasa di tempat umum itu haram karena membuka aib.
Dalil :
Bersabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Janganlah kalian
mencela pemimpin kalian dan janganlah kalian mendengki mereka, janganlah
kalian membenci mereka, bertakwalah kepada Allah, bersabarlah karena
urusan ini sudah dekat.” (HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Al Albani)
“Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi maka barangsiapa yang menghinakan penguasa maka Allah akan menghinakannya, barangsiapa yang memuliakan penguasa maka Allah akan memuliakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Ahmad, At Thayalisi, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
“Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi maka barangsiapa yang menghinakan penguasa maka Allah akan menghinakannya, barangsiapa yang memuliakan penguasa maka Allah akan memuliakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Ahmad, At Thayalisi, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah
melakukannya dengan terang-terangan di hadapan umum. Akan tetapi dengan
cara mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri. Jika ia
menerimanya maka inilah yang diharapkan, jika tidak menerimanya maka ia
telah melakukan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al Hakim, dan
Baihaqi. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
“Aku mendatangi Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu dan aku katakan :
“Kenapa engkau tidak menasihati Utsman bin Affan untuk menegakkan hukum
had atas Al Walid?” Maka Usamah berkata : “Apakah kamu mengira aku
tidak menasihatinya kecuali harus dihadapanmu? Demi Allah sungguh aku
telah menasihatinya secara sembunyi-sembunyi antara aku dan ia saja. Dan
aku tidak ingin membuka pintu kejelekan dan aku bukanlah orang yang
pertama kali membukanya.” (Atsar yang shahih diriwayatkan Bukhari dan
Muslim)
Hadist-hadist diatas tidak tepat jika ditujukan untuk melarang
aktivitas mengoreksi penguasa yang telah berlaku zalim terhadap
rakyatnya. Hadist tersebut baru tepat digunakan jika aktvitas
kemaksiatan itu bersifat individu yang tidak ada dampak terhadap
kemaslahatan atau kemudharatan kepada masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh para aktivis Islam bukanlah dalam rangka
membongkar aib penguasa, namun adalah menasehati para penguasa agar
kembali ke jalan yang benar.
Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga
para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan
sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala
menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain;
baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan
dalam hadits Nabi:
“Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau
zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak
dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun
tulisan), sebagaimana sabda Nabi:
“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan
tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r.
Muslim)
Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu,
seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam
Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan,
tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan
Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman,
ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman
itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan
mempedulikan-nya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk
mena-sehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah
ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi
konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan
kebajikan.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, hadits no. 4520 dan
4976.)
Adapun jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek
bagaimana pelakunya melakukan kemunkaran tersebut dapat
diklasifi-kasikan menjadi dua:
Pertama, kemunkaran yang dilakukansecara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;
Pertama, kemunkaran yang dilakukansecara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;
Kedua, kemunkaran yang dilakukansecara terbuka, demonstratif dan
pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.
Jenis kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah
kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang
kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara
diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di
depan umum. Aktivitas seperti inilah yang baru bisa dikenakan dengan
dalil-dalil yang melarang untuk menasehati penguasa ditempat umum.
Berbeda dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang
dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini,
pelaku kemunkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri
dengan kemunkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran
yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi
dua:
1- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas
pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan
atau kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan
perbincangan. Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran
dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara
yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut
diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang
melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
2- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak
terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik,
misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik
negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan
atau kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan
kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan
ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang
biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan
dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat (membongkar kemunkaran).
Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang
menga-takan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah
bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kali
an) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka
meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang
yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun
menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya
kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun
menceritakannya kepada beliau.”(Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar
al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22.)
Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid
bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah
kemunkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum
Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika
ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan
yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin
al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut
ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai
dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan
status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum
membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak
bahayanya bersifat umum. (Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah
al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal. 112-113).
Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang
dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di
hadapan-nya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi
atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib. (Meski
sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau
ma-sirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi
wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap
kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa)
Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala
penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam
hadits Nabi:
سَيِّدُالشُّهَدَاءِحَمْزَة
ُبْنُعَبْدِالمُطَلِّبِوَرَجُلٌقَالَإِلَىإِمَامٍجَائِرٍفَأَمَرَهُوَنَهَاهُفَقَتَلَهُ
ُبْنُعَبْدِالمُطَلِّبِوَرَجُلٌقَالَإِلَىإِمَامٍجَائِرٍفَأَمَرَهُوَنَهَاهُفَقَتَلَهُ
“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang
berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia
memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap
kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim)
Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja
yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh
mengemuka-kannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan
menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika
tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.” 5 pada dasarnya tidak
menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan
publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.
Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau
mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran
atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib,
hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung,
dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui
tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan,
termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau
yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang upaya
bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan
apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya.
Pernyataan bahwa Wanita haram ikut masirah.
Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:
Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut. (Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.)
Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.
Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut. (Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.)
Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.
Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau
protes. Dalam hal ini, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap
seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan
oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam
kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam
Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).
Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99)
Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99)
Tindakan muhasabah semacam ini juga telah dilakukan oleh para
sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar ketika
mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina
keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid. (Al-Ya’qubi,
Târîkh al-Ya’qûbi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t. )
Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masirah (long
march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan
pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat
jelas mubah. Kemubahan tersebut juga berlaku bukan hanya untuk kaum
pria, tetapi juga untuk para wanita. Sebagaimana dalil-dalil dan alasan
yang dikemukakan di atas.
Kesimpulan.
Kesimpulan.
Hukum demonstrasi adalah mubah sebagai sebuah uslub dakwah, dalam
hal ini adalah demonstrasi yang sesuai dengan syariah Islam, tidak
bertasyabuh dengan golongan tertentu semisal masyarakat sosialis yang
melakukan aksi dengan disertai pengrusakan. Adapun aktivitas mengkritik
dan menasehati penguasa tersebut adalah wajib (Meski sebagai cara
(uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau ma-sirah
tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang
wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim
atau munkar yang dilakukan oleh penguasa)
Wallahu’alam bis showab.
0 Response to "Demonstrasi dalam Pandangan Islam"
Post a Comment