Pengembangan
wilayah pada hakikatnya adalah pengembangan di daerah yang bersifat menyeluruh.
Artinya, pembangunan tidak hanya menyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi
yang lebih prinsip adalah upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar
dapat mengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak.
Pengembangan
wilayah pada masa desentralisasi cenderung diartikan sebagai pemekaran wilayah
yang pada dasarnya memiliki muatan politis yang kental. Pemekaran wilayah lebih
pada upaya mengakomodasi elit-elit di daerah agar desentralisasi tidak terjebak
pada disintegrasi.
Hingga
saat ini, asumsi pengembangan wilayah masih berkutat pada paradigma lama;
pembangunan fisik sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Sementara
itu, kemiskinan kerap kali menjadi wajah dominan masyarakat Indonesia.
Pembangunan manusia hingga saat ini belum menjadi indikator yang utama dalam
mengukur keberhasilan pembangunan.
Amartya
Sen menyebutkan, kebebasan adalah inti pembangunan dan karena itu masyarakat
harus dibebaskan dari sumber ketidak bebasan itu. Sumber ketidakbebasan itu
adalah kemiskinan (yang dapat menyebabkan orang tidak mendapat kesempatan
memperoleh gizi yang baik) dan tirani, rendahnya peluang ekonomi (antara lain
peluang bagi perempuan untuk mendapat kerja di luar rumah) dan pemiskinan
sosial sistematis, pengabaian fasilitas publik (misalnya pendidikan dan
pelayanan kesehatan) dan intoleransi atau represi oleh negara. Dengan demikian,
pembangunan manusia sebenarnya bukan sesuatu yang abstrak dan tidak mungkin
ditunda-tunda.
Sekalipun
terdapat kemajuan dalam hal pembangunan manusia di Indonesia, namun
perkembangan tersebut berjalan sangat lamban. Ada beragam faktor yang
menunjukkan hal itu. UNDP (United Nations Development
Programs) misalnya, setiap tahun memaparkan
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari 177 negara di
dunia. Dari jumlah tersebut, kondisi terakhir Indonesia berada di posisi ke
111. Posisi demikian menempatkan Indonesia satu tingkat di atas Vietnam, namun
masih jauh di bawah beberapa negara negara tetangga semacam Singapura,
Malaysia, Filipina, maupun Thailand.
Kondisi
sumber daya manusia yang berkualitas merupakan prasyarat utama dalam melakukan
perbaikan dan pembangunan di banyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan
Otonomi Daerah, di mana partisipasi dan kompetensi masyarakat sangat dibutuhkan
dalam merancang, menentukan kebijakan dan melaksanakan pembangunan yang
menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Otonomi
daerah sebagai wujud dari pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan memiliki salah satu prasyarat yang paling utama, yaitu adanya
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam hal ini menjadi penting
karena perubahan sistem yang sangat mendasar dari sentralistik ke
desentralistik. Tetapi, permasalahannya adalah partisipasi merupakan hal baru
dan asing bagi masyarakat, terutama bagi unit masyarakat terkecil di tingkat
desa. Hampir tidak dapat dibayangkan bagaimana masyarakat desa berpartisipasi
dalam pembangunan seperti misalnya merencanakan pembangunan berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat. Jangankan untuk duduk satu meja dengan
aparat pemerintah dan berbagai kalangan dari strata yang beragam, urun rembug (musyawarah)
di tingkat Rukun Tetangga (RT) saja masyarakat awam cenderung untuk menyerahkan
‘yang terbaik’ kepada ketua RT atau tokoh masyarakat lainnya.
Menilik
dari kenyataan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa partisipasi merupakan
sesuatu yang mewah bagi masyarakat. Terlebih lagi, hubungan antara pemerintah
dengan rakyat memiliki kesenjangan yang sangat jauh. Kesenjangan tersebut
merupakan penghalang terbesar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Selain kesenjangan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, terdapat asumsi
dasar masyarakat terhadap pemerintah yang juga belum berubah; pemerintah harus
menyediakan kebutuhan rakyat, tanpa perlu adanya tuntutan dari bawah. Pola
hubungan dan asumsi yang terlanjur melekat dalam benak masyarakat seperti
inilah yang menjadi tantangan sekaligus hambatan dalam membangun sistem
pemerintahan yang partisipatoris. Pembangunan yang bersifat bottom-up nyaris
menjadi wacana yang sulit direalisasikan jika masyarakat masih berpikir dengan
pola yang sentralistis. Kalaupun masyarakat terlibat pada perencanaan
pembangunan, biasanya yang dilakukan adalah pengajuan daftar keinginan. Hal ini
menyebabkan pembangunan yang diharapkan bottom-up dari tingkat perencanaan
hingga pelaksanaan menjadi bias.
Keinginan
merupakan tuntutan yang muatan subjektifitasnya lebih tinggi daripada nilai
objektifitasnya, karena keinginan seringkali jauh berada di atas kebutuhan
objektif. Karenanya, pemerintah biasanya mengalami ‘kebanjiran daftar
keinginan’ yang sangat sulit untuk diakomodasi dan direalisasikan. Sebagai bangsa
yang memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, kondisi sosial-ekonomi
dan kultural masyarakat Indonesia otomatis menjadi sangat beragam pula. Selain
itu, Indonesia juga mewarisi permasalahan yang rumit. Permasalahan pertama, menyangkut masalah jumlah
penduduk miskin yang sangat besar. Terbesar dari jumlah ini terpusat di pulau
Jawa. Kedua, perkembangan yang
berbeda antara daerah, khususnya antara Jawa dan luar Jawa. Ketiga, kemampuan yang rendah dari
aparat birokrasi nasional Indonesia untuk merencanakan dan melaksanakan
pembangunan.
Ketiga
permasalahan itu, khususnya permasalahan perbedaan perkembangan antara Jawa dan
luar Jawa, karena tidak dapat dipecahkan oleh pemerintah pusat telah
menyebabkan masalah tersebut menjadi
sebab dari timbulnya gerakan-gerakan separatis di Indonesia pada tahun 1950-an.
Semua gerakan separatis ini menuntut pemerintah untuk lebih melaksanakan
pemerataan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketika tuntutan tersebut
tidak mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah pusat, di beberapa daerah
di Indonesia mulailah muncul gerakan-gerakan separatis. Gerakan-gerakan
tersebut sangat menonjolkan sifat-sifat kedaerahan.
Ketika
pengembangan wilayah dilaksanakan oleh pemerintah, terbukalah permasalahan
baru, yaitu bahwa hampir di setiap daerah, Jawa maupun luar Jawa terdapat
perbedaan antarwilayah yang menonjol dalam perkembangannya. Di dalam satu
provinsi, bahkan dalam satu kabupaten, dapat ditemukan wilayah yang terbelakang
berdampingan dengan wilayah maju. Pada saat pelaksanaan pembangunan, pemerintah
dihadapkan pada persoalan lain yaitu aparat pelaksana pembangunan. Ada tiga
permasalahan pokok yang dihadapi oleh pemerintah dalam hal ini. Pertama,
rendahnya kemampuan teknis para pelaksana pembangunan dalam merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan wilayah. Kedua,
wawasan sektoral yang masih kuat berakar dalam instansipemerintah yang
melaksanakan pembangunan. Ketiga,
sikap patronase yang masih kental
dalam diri para aparat pemerintah dalam hubungan
mereka dengan rakyat. Pada umumnya
perencanaan program kerja pemerintah daerah
masih bersifat top down dan sektoral. Terlebih lagi, program kerja lebih dilekatkan pada pendekatan proyek, sehingga kesinambungan program tidak dapat dijaga dan
manfaatnya belum tentu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Orientasi proyek dalam merancang pogram pembangunan seringkali terjebak pada upaya bagaimana anggaran dapat direalisasikan dan dana
dapat dicairkan.
Pola
pembangunan yang bersifat top down pada
akhirnya mematikan kreativitas daerah
dan menimbulkan ketergantungan terhadap
pusat. Hampir sulit ditemui daerah yang berhasil melakukan inovasi-inovasi yang menyentuh kepentingan rakyat dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mengubah situasi ini,
pemerintah daerah perlu membangun visi dan misi pembangunan agar sesuai dengan arah pembangunan daerah masing-masing dengan mempertimbangkan ciri-ciri khas
daerah.
Mentalitas
birokrasi untuk menunjang pembangunan harus
diubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pengembangan wilayah yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Kendala
yang disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranya terjadinya hubungan kolusi antara birokrasi sebagai penyedia pelayanan publik dengan pengguna jasa
yang menyebabkan diskriminasi dalam
pelayanan. Diskriminasi pelayanan publik diantara dipengaruhi oleh beberapa faktor. Laporan penelitian tentang “Reformasi Tata Pemerintahan dan
Otonomi Daerah” oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas
Gadjah Mada mengungkapkan realitas bahwa birokrasi belum mampu memberikan pelayanan publik yang adil dan non
partisan kepada semua lapisan masyarakat Hal ini terlihat dari bagaimana
hubungan pertemanan, afiliasi
politik, etnis dan latar belakang agama merupakan variabel yang masih mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan publik yang diberikan birokrasi kepada masyarakat.
(lihat diagram 1).
Diagram
1. Pertimbangan Pelayanan Menurut Aparat Birokrasi (dalam Persen)
Sumber: Data
Governance and Decentralizatin Survey 2002, Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Diagram
1. Pertimbangan Pelayanan menurut Aparat Birokrasi Pengembangan wilayah
(otonomi) juga memunculkan kekhawatiran dari stakeholders, terutama dari kalangan
LSM, tentang peningkatan perilaku KKN diberbagai instansi pemerintahan, baik secara
kuantitas dan kualitas. (lihat diagram 2).
Diagram 2. KKN di Berbagai Instansi Menurut LSM (dalam
Persen)
Sumber: Data
Governance and Decentralizatin Survey 2002, Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Pengembangan
wilayah, lebih dari itu, menuntut pula usaha penciptaan dan pelembagaan suatu
budaya pembangunan baru di kalangan instansi, aparat perencanaan, pelaksana
pembangunan serta di kalangan masyarakat di daerah. Dengan demikian, secara
konseptual pengembangan wilayah merupakan perpaduan dari dua usaha pembangunan,
yaitu perbaikan kehidupan perekonomian rakyat miskin di suatu wilayah dengan
usaha-usaha pembangunan yang bertujuan untuk mengubah budaya pembangunan di
kalangan instansi, aparat pemerintah daerah, serta kalangan masyarakat.
Pengembangan
wilayah di Indonesia selain mempertimbangkan berbagai potensi yang ada di setiap
wilayah juga harus memperhatikan perkembangan laju pembangunan. Perbedaan laju
pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan
kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dengan luar Jawa, antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Satu di antara
kebijakan yang diambil pemerintah untuk mempersempit ketimpangan regional yaitu
ditetapkannya kebijakan pembangunan daerah melalui konsep kawasan andalan, yang
dilakukan berdasarkan potensi yang dimiliki daerah. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pertumbuhan dan pendapatan per
kapita antarwilayah, sehingga dapat menutup atau paling tidak mempersempit
kesenjangan perkembangan ekonomi.
Kriteria
kawasan dipilih berdasarkan kawasan yang memiliki potensi ekonomi yang lebih
cepat tumbuh dibandingkan daerah lainnya dalam suatu provinsi, memiliki sektor
unggulan dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland).
Kriteria inilah yang digunakan untuk menentukan pertumbuhan kawasan andalan. Pertumbuhan
kawasan andalan diharapkan dapat memberikan imbas positif bagi pertumbuhan
ekonomi daerah sekitar (hinterland), melalui pemberdayaan sektor/subsektor
unggulan sebagai penggerak perekonomian daerah yang keterkaitan ekonomi
antardaerah. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai arah kebijakan penetapan
kawasan andalan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator
kunci dalam pembangunan (Kuncoro, 2004).
Penentuan
lokasi pengembangan kawasan andalan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 47/1997 (dalam tahap
revisi) sebagai aturan mengenai Kawasan Pengembangan Strategis. RTRWN dalam hal
ini telah memilih 108 daerah prioritas di seluruh Indonesia (52 diantaranya
berlokasi di bagian timur). Daerah tersebut dibentuk sebagai pusat pertumbuhan.
14 daerah dipilih sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
berdasarkan daerah prioritas dan dianggap sebagai model pembangunan ekonomi regional
utama untuk pusat pertumbuhan di Indonesia bagian timur.
================
http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Otonomi%20Daerah,%20Masalah,%20Pemberdayaan,%20dan%20Konflik.pdf. Diakses pada
tanggal 4 November 2015
Kuncoro, Mudrajad.
2004. Otonomi
dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta:Erlangga.
0 Response to "Pemekaran Wilayah"
Post a Comment