Cewek berkacamata yang satu ini bernama 'Si
Jutek' Viona Adelia. Setidaknya itulah julukan yang diberikan oleh teman-teman
Vio di sekolah lamanya.
"Whateverlah! Biarpun gue jutek begini, yang
penting gue jadi diri sendiri." pikir Vio.
Hari ini adalah hari pertama Vio masuk sekolah
baru. Dia pindah karena merasa sudah diabaikan oleh kedua orangtuanya yang
super duper sibuk itu. Viona kesal,
dan akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama kakek
neneknya di Bandung.
"Selain suasana desanya yang gue suka, rasa
kekeluargaannya pun masih terjaga. Beda banget sama Jakarta. Sama tetangga satu kompleks pun jarang ada yang
kenal. Beuh, parahhh!"
(Hehe, maaf pemirsa, Vio ini orangnya agak-agak sewot gimana gitu, peace ya!
:p)
Setelah memperkenalkan diri di depan kelas, bu
Sinta guru sejarah yang waktu itu sedang mengajar, mempersilahkan Vio duduk
sebelah Nina di bangku paling belakang.
"Hai, namaku Nina. Salam
kenal." sapa Nina.
"Gue Vio, senang bertemu dengan loe." Mereka terlihat berjabat tangan.
Well, sejauh ini semua berjalan dengan lancar.
Tapi, Eng ing eng..!!!!! Masalah mulai muncul ketika pak
Hartono masuk ke kelas lalu mengadakan ulangan Matematika. Semua murid protes.
"Pak Hartono emang gitu sifatnya. Semuaaanya
serba dadakan. Padahal selama ini kita kan baru belajar 3x sama beliau." keluh Nina.
"Damn! Gue paling gak bisa sama yang namanya
mateMATIka, otak gue gak pernah mau kompromi sama mata pelajaran yang satu ini.
Please, help me God!!" Vio berdoa.
***
Tepat jam 10.00 bel istirahat berbunyi. Semua
kertas ulangan dikumpulkan beserta jawabannya. Pada waktu itu, gak tahu kenapa
Viona pengen banget ke perpustakaan.
Selain merasa sumpek karena sudah dipastikan dia bakal K.O sama ulangan tadi,
mungkin dia kepengen ngisi bahan bakar otaknya kali ya?! Wkwkwk.
Viona mulai mencari rak yang di dalamnya termuat
banyak sekali buku-buku karya sastra. Dia mulai membaca intisari buku yang
dipegangnya sambil terus menuju ke arah bangku membaca. Saking seriusnya, dia
sama sekali tidak memperhatikan sosok indah yang berdiri di depannya. Beuuuhhhh
:p
Brukkk!!! Terdengar suara buku terjatuh dari lengan seorang pria. Pria itu
kemudian memungutnya.
"Haduuuuuh!!! Bisa ga
sih loe gak berdiri ngehalangin jalan gue?" Viona marah.
"Maaf! Maafkan saya." polos si pria
tadi.
Viona tak sengaja melihat penampilan pria itu dari ujung kaki sampai ujung
kepala. Pria ini terlihat kalem, bersih dan oh ya satu lagi, ‘pinter agama!’. Setidaknya begitulah kesimpulan pertama
Viona ketika ia melihat pria itu menggunakan peci berwarna putih. Jarang-jarang
ada pria seperti ini, apalagi ini kan SMA, bukan MA. Heheheh
"Kak Ryan ayo kita ke kelas, teman-teman
udah pada nunggu." sahut seorang perempuan yang berpakaian serba tertutup
dan terlihat anggun itu.
"Oh iya. Saya hampir lupa Aisyah!"
Kemudian pria itu menatap kembali wajah Viona seraya berkata,
"Emmh.. sekali lagi saya mohon maaf ya? Saya benar-benar tidak sengaja. Assalamualaikum."
Pria itu berlalu bersama perempuan yang bernama
Aisyah. Mereka terlihat sangat serasi.
"Waalaikumussalam. Oh jadi yang cowok namanya Ryan, dan cewek
yang tadi namanya Aisyah. Ya ampun gue merasa bersalah udah ngebentak
dia." pikir Viona.
***
Dua
hari kemudian pak Hartono membagikan hasil ulangan perdana murid-muridnya.
"Oh my God, mampus gue!" Viona terlihat
resah, gelisah tak menentu (Jhahaha :D lebay!)
"Astaga?! Tuh kannn?? Ramalan gue emang 100%
akurat dan berimbang!" Viona terlihat cemberut melihat angka 5 berwarna
merah tertera di kertas ulangannya.
"Kamu tuh unik ya Vio, biasanya orang
berkacamata itu culun, pendiam atau malah jago Matematika. Lah ini? Nggak sama sekali?! Beruntung, aku punya temen
kayak kamu! Sama-sama babak belur karena Matematika. Wkwkwk" ejek Nina.
"Duh segitu parahnyakah gue dimata loe Nin?
Hiks :'("
Bukannya simpati, Nina malah tertawa mendengar
ucapan sahabatnya itu.
***
Hari itu juga Viona kembali lagi ke perpustakaan setelah bel pulang berbunyi.
Dia niat banget buat belajar Matematika disana karena selain banyak
sumber, perpustakaan
sekolahnya itu baru tutup satu jam kemudian.
Setelah sampai di perpustakaan, Viona langsung tancap gas mengambil
lima buah buku Matematika dari penerbit yang berbeda-beda.
Dia mulai berkutat dan mencoba menjawab sejumlah soal yang ada di dalam buku-buku
tadi. Tapi hasilnya NIHIL! Buku tulisnya hanya penuh dengan coretan gak jelas,
garis melengkung kesana kemari dan semua hitungan yang belum selesai! Ada juga
gambar yang ‘mungkin’ bisa disebut pak Hartono dengan
ciri khas kumis baplangnya itu. (Wkwkwk, bukannya ngerjain soal malah
ngegambar! Otaknya udah mentok kali ya? )
Tiba-tiba seorang pria yang dikenalinya berjalan
mendekat ke arah Vio.
"Ya ampun itu kan cowok yang dulu pernah gue
marahin! Pasti dia mau bales dendam karena pada waktu itu si Aisyah keburu
dateng! Please save me God!" (T-T) Viona tegang.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ryan
memulai pembicaraan sambil memperlihatkan senyum manisnya.
"Emmhh.. Gak ada kok! Hehe.." Viona
cengengesan.
"Dari tadi saya lihat, kamu terlihat
bingung? Kenalin, nama saya
Ryan Al-Faraby. Panggil saja saya Ryan."
"Gu..gu..gue Vio. Gue baru pindah kesini tiga hari yang lalu." Viona
agak gugup.
"Oh ternyata kamu anak baru ya? Pantes saya
gak pernah lihat. Jadi apa masalahnya?"
Mau gak mau Vio harus jujur. Mungkin saja Ryan
dapat membantunya kali ini.
"Iya deh gue ngaku. Gue gak bisa ngerjain
soal kayak beginian. Gue emang payah!"
Ryan kemudian membaca buku Matematika yang ditunjukan Viona. Dia
mengangguk pelan.
"Mudah-mudahan saya bisa bantu. Sini, mana
buku tulisnya?"
Viona pun akhirnya menyodorkan buku tulis yang
sejak tadi tertindih lengannya sendiri. Seketika itu juga Ryan tertawa geli.
"Ngomong-ngomong ini gambar pak Hartono
ya?" tanya Ryan.
"Hehehehehe.... Iii..iya"
"Lucu banget ekspresi mukanya. Hihi"
"Soal itu sih, gak tau kenapa tiba-tiba
tangan gue jadi ngegambar kayak gini."
"Haha.. Ya sudah, kita kerjakan dulu
soal-soal ini."
***
40 menit kemudian...
"Maaf, perpustakaannya udah mau tutup."
salah seorang petugas memberitahukan.
"Sayang banget ya? Padahal otak gue kayaknya
mulai ada pencerahan tuh?" Viona sedikit kecewa.
"Kalau kamu mau, gimana kalau kita lanjutin
di rumah saya saja?"
"Emang gak apa-apa?"
"Insyaallah, tidak. Ayo?!"
“Ya
udah. Btw thanks ya. Loe udah baik sama gue, padahal kan gue udah ngebentak loe
kemarin.”
“Sama-sama.
Gapapa kok.” jawab Ryan tulus.
Mereka pun mulai membereskan buku-buku yang berceceran di meja, kemudian
bergegas pulang ke rumah Ryan.
"Sudah sampai. Assalamualaikum ummi?"
Ryan mengetok pintu.
"Waalaikumussalam. Eh ada temennya ya?"
Seorang ibu berpakaian rapi dan berjilbab itu
dengan senang hati membukakan pintu.
"Ya ummi. Kenalin dia Vio. Dia siswi baru di
sekolahan kami."
"Hallo tante, nama guu.. ehh, nama saya
Viona. Heheeh”
"Wah neng Viona ini cantik ya?
Kayak Marshanda. Ayo silahkan masuk! Ummi mau ngebuatin teh dulu." sapa ummi ramah.
(Ceilehh.. Vio dibilang mirip Marshanda? Kayaknya
si ibu tadi emang doyan sinetron kali ya. Wkwkwk)
Tak lama kemudian dua cangkir teh dan makanan
ringan lainnya sudah terhidang di atas meja.
"Maaf, ummi tinggal dulu ya? Ummi ada
pengajian di kampung sebelah."
"Ya ummi." sahut Ryan.
"Terima kasih ummi! Hati-hati di jalan." Viona menambahkan.
...............
"Wah udah sore nih, gue harus segera pulang.
Kakek dan nenek pasti nyariin. Gue kan gak sempat pamit."
"Saya antar ya? Boleh???"
"Udah gak usah. Takut ngerepotin!"
"Sudahlah, ayo naik?"
Viona dibonceng Ryan dengan menggunakan sepeda.
Selama perjalanan, mereka
melewati perkebunan teh yang luas dan tentunya pemandangan yang sangaaaat indah. Viona merasa bersyukur
masih bisa melihat anugerah Tuhan yang satu ini. ^^
***
Hari Rabu
telah datang, pak Hartono masuk ke ruang kelas dengan mimik wajah yang
menyeramkan. (Kayak preman
yang gak diberi makan 3 hari.
Hiiiiii syeremmmm :p)
"Hari ini, bapak akan me-remidi kalian yang nilainya masih di bawah
KKM. Buka halaman 20! Sekarang bapak akan panggil kalian secara acak dan kalian
harus bisa mengerjakan satu soal yang ada pada halaman tersebut langsung di
papan tulis!" pak Hartono menjelaskan aturan mainnya dengan nada yang
tinggi.
Setelah itu pak Hartono mulai memanggil murid-muridnya
satu-persatu. Sejauh ini dari 15 siswa yang maju, hanya dua orang yang berhasil
selamat dan mereka dipersilahkan duduk kembali.
"Viona Adelia. Maju!!"
Suara itu terdengar seperti auman serigala yang
siap menerkam dan mengoyak daging
mangsanya. (Untung Vio bukan gadis berkerudung merah. Gkgkgk :D)
"Ya Tuhan bagaimana ini?? Gue gak begitu
yakin! Bismillahirohmanirohim."
"Coba kerjakan soal nomor 11!"
Viona mulai
menulis jawabannya. Hitungan demi hitungan telah berhasil ia selesaikan. Tapi,
tetap saja dia gak yakin! Akhirnya dia bergabung
dengan teman-teman yang lain sambil mengangkat satu kaki dan menjewer kedua
telinganya tanpa diminta langsung oleh pak Hartono.
"Heh! Apa yang kamu lakukan?"
"Oh saya salah ya pak? Trus saya harus
berdiri di sebelah mana?"
"Bicara apa kamu ini?" pak Hartono
bingung.
"Pak tolong jangan bentak-bentak saya. Saya
janji akan lebih giat belajar lagi!" Viona menampilkan ekspresi lucu
dengan menutup kedua matanya. Dia tak sanggup memandang kemarahan di wajah pak
Hartono.
"Kamu itu gimana sih? Jawaban kamu benar
Vio?"
"Haaaaahhh? Yang bener pak?" Viona
kaget sekaligus gembira.
"Iya. Sekarang, silahkan duduk
kembali."
"Alhamdulilah. Thanks ya Rabb!"
Semua teman sekelasnya menertawakan tingkah laku
Vio yang konyol. Bukannya
malu, Viona malah senang. Dalam hati ia berjanji akan memberikan sesuatu pada
Ryan sebagai tanda terima kasih.
***
Sore harinya Vio sudah siap berkemas. Sebelum
pergi, ia berkaca terlebih dahulu di depan cermin. Tiba-tiba hatinya tergerak
untuk mencoba memakai kerudung yang selama ini jarang ia pakai. Entah kenapa
setelah kerudung itu menutupi rambutnya, Viona merasa dirinya lebih cantik. Ia pun mulai mencari baju dengan warna yang senada dan rok berwarna hitam.
"Assalamualaikum?" teriak Viona sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam!" ummi pun membuka pintu rumahnya lalu bertanya.
"Neng siapa ya?"
"Saya Viona ummi, teman Ryan yang dulu
pernah mampir kesini."
"Subhanallah, ummi jadi pangling
liatnya!"
"Hehe, makasih ummi. Emmh, Ryan nya
ada?"
"Oh Ryan lagi keluar sama Aisyah. Katanya
sih mau nyari serangga buat besok praktikum. Kalau kamu ada perlu nanti biar
ummi susul?"
"Oh, gak usah ummi. Vio kesini cuman mau
ngasih ini. Vio berterima kasih sekali pada Ryan karena dia sudah membantu Vio
belajar Matematika." kata Vio sambil memberikan
bungkusan berisi bolu pisang.
"Oh ya terima kasih. Nanti bakal ummi
sampaikan ke Ryan."
"Sama-sama ummi. Maaf Vio mau pulang dulu,
takut kesorean."
"Iya. Hati-hati Vio!"
Sementara itu,
"Wah serangganya sudah cukup kak! Kita harus
segera pulang. Nanti ummi nyariin?" Aisyah menyarankan.
"Iya, tak terasa sebentar lagi matahari akan
tenggelam." jawab Ryan.
Ketika melewati rumah penduduk, mereka berpapasan
dengan seorang pedagang bunga keliling.
"Pak saya mau beli bunganya?"
"Silahkan jang. Ujang mau pilih yang
mana?"
"Ini! Yang ini saja! Berapa harganya?"
"Kalo yang itu harganya 50 ribu."
"Ini uangnya, terima kasih!"
Aisyah lalu bertanya,
"Bunga Edelweisnya buat siapa kak?"
"Buat seseorang yang selama ini dekat sama
kakak."
Aisyah tersipu malu. Pipinya merah merona. Dia
merasa bahwa hanya dialah yang selama ini selalu berada di samping Ryan.
"Trus kapan kakak akan memberi dia bunga
itu?"
"Nanti, di waktu yang tepat."
Aisyah semakin berbunga-bunga. Ia berharap semoga
hari itu akan segera tiba :)
***
Setelah kembali ke rumah Vio rehat sejenak. Dia
introspeksi diri sambil menatap bayangannya yang terpantul di cermin. Baginya
pakaian yang dikenakannya itu jauh lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Dia
merasa nyaman dan tentram dengan memakai pakaian yang tertutup. Kemudian Vio
meraih hp flipnya yang tergeletak di atas kasur. Ia buka menu kontak di hpnya
dan mencari tulisan "Mama". Setelah
ditemukan ia langsung menekan tombol call.
"Halo sayang, ada apa?"
"Halo ma. Vio kangen sama mama. Vio ganggu
mama kerja gak?"
"Engga sayang, mama udah pulang."
"Emmhh... ma?"
"Ya??"
"Boleh Vio minta sesuatu?"
"Katakanlah. Kamu mau minta apa?"
"Vio mau minta sejumlah uang?"
"Untuk apa?"
"Vio mau memperbaiki penampilan."
"Vio, kamu jangan menghambur-hamburkan uang. Mama gak setuju kalau uang mama
dipake buat pergi ke salon."
"Tapi kali ini beda ma!"
"Trus untuk apa?"
"Vio ingin berhijab. Selama ini Vio tidak
menjaga aurat Vio dengan sempurna. Vio malu sama Allah SWT"
Mama sejenak terdiam.
"Vio benarkah yang kamu katakan barusan
nak?" mama berlinang air mata haru.
"Insyaallah ma. Vio udah niat dari sekarang.
Doain Vio juga agar tetap istiqomah."
"Mama bangga padamu nak. Mama akan kirim
uang secepatnya. Sekalian mama mau titip uang buat kakek dan nenekmu disana."
"Makasih ya ma. Maaf Vio gak bisa lama-lama.
Vio harus ngerjain sesuatu dulu. Gapapa kan ma?
"Iya. Gapapa sayang."
"Met malem ma. Vio sayaaaaaangg banget sama
mama. Jangan lupa salam juga buat papa!"
"Met tidur sayang. Mimpi yang indah! Kami
berdua akan selalu menyayangi Vio.
“Makasih
ma.”
“Iya,
sama-sama Vio”
-----------
Tututututt.... Terdengar sambungan telepon
terputus.
Vio kemudian duduk di depan laptopnya. Ia
terlihat serius mengetik kata demi kata.
"Akhirnya selesai juga. Huaaaaa capek
banget!!" Vio menguap sambil menahan rasa kantuknya yang teramat sangat.
"Vio, udah malam! Nanti kamu telat bangun
sekolah." kakek menasehatinya.
"Iya kek, ini juga udah kelar. Selamat
tidur!"
"Jangan lupa baca doa." tambah kakek
"Siap bos!" :D
Tiga
hari kemudian....
"Vio, kamu gapapa?" tanya Nina heran.
"Emang ada yang salah dengan penampilan saya
ya?" Vio bingung.
"Tunggu,tunggu. Biasanya kan kalau bicara
suka pake 'loe gue loe gue'. Nah lohh, sekarang tumben-tumbenan pake 'saya'?
Udah gitu sekarang kamu pakai jilbab."
Mendengar pernyataan seperti itu Vio tersenyum
simpul lalu berkata : "Gak ada salahnya kan kalau kita mau berubah menjadi
lebih baik?"
“Hehehehe” Nina menjadi malu mendengar ucapan Vio
barusan.
***
Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tak
terasa waktu begitu cepat berlalu. Ulangan semester genap baru saja selesai.
Sebentar lagi Vio akan naik ke kelas XII.
Pagi itu Vio disuruh neneknya berbelanja ke pasar.
Tak disangka, Vio ditakdirkan untuk bertemu Ryan disana. (Uuhhh.. So sweet *_*)
"Ciee... Mentang-mentang udah jago Matematika, sekarang jadi jarang
silaturahmi ke rumah?"
sindir Ryan.
"Emmh..maaf, bukannya gitu. Saya memang gak
sempat mampir ke rumah karena akhir-akhir ini saya lebih banyak belajar bareng
sama teman-teman." Viona
ngeles.
"Oh gitu. Ngomong-ngomong makasih ya kuenya.
Rasanya enak banget. Ummi juga sependapat dengan saya."
"Syukurlah kalau begitu. Terima kasih."
Vio tersanjung.
"Oh iya. Ummi juga sering nanyain kamu.
Katanya, beliau merasa kehilangan kalau kamu gak datang ke rumah."
Tiba-tiba pembicaraan kami terpotong,
"Eh ada kak Ryan!" Aisyah datang
menghampiri. Matanya langsung tertuju pada Vio.
"Emmh kamu kan yang dulu marah-marahin kak
Ryan waktu di perpustakaan. Wahai ukhti, namamu siapa?
Subhanallah, sekarang kamu terlihat lebih cantik setelah mengenakan
jilbab."
"Nama saya Viona. Biasa dipanggil Vio.
Terima kasih. Aisyah juga makin cantik! Eh, maaf nih saya harus segera
pulang."
"Mau saya antar?" Ryan menawarkan.
"Ah tidak usah. Saya bawa sepeda kok. Duluan
ya?? Assalamualaikum!"
Aisyah+Ryan : "Waalaikumussalam!"
Selama perjalanan menuju rumah, Vio merasa
dirinya aneh. Entah rasa apa yang hinggap di hatinya kala itu. Dia merasa jengkel
dan sakit ketika melihat Ryan bersama Aisyah.
"Ya Allah, apa mungkin ini yang dinamakan
cemburu?" gumam Vio dalam hati.
***
Tibalah saat hari
pelepasan siswa/i kelas XII sekaligus acara kenaikan kelas. Acara tersebut disusun secara apik dan terorganisir oleh para
panitia. Ketika menginjak acara inti, pak kepala sekolah mengumumkan
beberapa perolehan prestasi yang telah disabet oleh sekolah itu selama setahun
terakhir. Dan ternyata nama Vio juga tercantum dalam daftar siswa/i berprestasi
tersebut. Ia pernah mengikuti lomba menulis novel yang diadakan salah satu
penerbit buku ternama di kota Bandung. Judul karyanya yaitu 'Mengapa Harus
Aku?'. Novel ini menceritakan penderitaan yang harus ditanggung oleh anak-anak
yang keluarganya broken home sekaligus menyemangati mereka agar tidak mengambil
jalan yang salah.
Vio pun diminta naik ke atas panggung untuk
menerima piala dan piagam yang diserahkan langsung oleh kepala sekolah.
Terlihat dari atas panggung, Ryan tampak tersenyum sambil tepuk tangan
menyaksikan keberhasilan teman dekatnya itu. Dan lebih spesialnya lagi, kali
ini orang tua Vio juga ikut menghadiri acara tersebut. Wahh, Vio begitu
bahagia. Alhamdulilah ^^
***
Sore pun menjelang. Vio dan kedua orang tuanya
terlihat lelah usai menghadiri acara tadi. Belum sempat Vio membuka pintu
rumah, tiba-tiba hpnya berdering. Ternyata ada sms masuk.
From : 08135153xxxx
Assalamualaikum....
Selamat
ya Vio! You're so amazing. ^_^
Oh
ya, besok ummi mengundang kamu ke rumah. Jangan sampai gak dateng ya!
Wassalam
-Ryan-
“Haah?
Ryan?” batin Viona.
Baru kali ini Vio menerima sms dari dia. Setahu
Vio, mereka tidak pernah saling menanyakan nomor hp satu sama lain. Vio
terlihat agak ragu, tapi pada akhirnya ia pun membalas sms itu.
To : 08535153xxxx
Thanks.
:)
Insyaallah
besok saya kesana.
***
Hari esok pun tiba, Vio bergegas memenuhi
janjinya.
"Assalamualaikum??" Vio mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam. Eh neng Vio! Silahkan masuk!"
Vio pun masuk ke dalam rumah sambil tak lupa
mencium tangan umminya Ryan.
"Maaf sebelumnya ummi. Vio cuman mau tanya.
Ada perlu apa ya ummi menyuruh saya kesini?"
"Loh, kirain Vio mau ketemu sama Ryan?"
"Enggak kok ummi. Kata Ryan, Vio disuruh
kesini oleh ummi."
"Ah masa? Itu hanya akal-akalan Ryan
kali."
"Trus sekarang Ryannya dimana?" sahut Vio
lugu. (Ih dasar Vio, keceplosan mulu kalau nanya! Ini masalah HARGA DIRI. Wkwk)
"Barusan dia keluar. Gak tahu mau
kemana." jelas ummi.
"Oh gitu ya..?" (Tuuhhh kan?! Alhasil,
jadi malu sendiri. @_@)
"Neng Vio, bisa bantu ummi gak?"
"Dengan senang hati ummi. Apa yang harus Vio
lakukan?"
"Anterin ummi bawa makanan ini ke sawah yu?
Kakeknya Ryan lagi panen hari ini."
"Tentu saja ummi. Ayo kita berangkat!"
Vio terlihat semangat.
***
Singkat cerita mereka pun tiba di sawah yang
mereka tuju. Dari kejauhan, terlihat sesosok pria tampan sedang duduk di samping sawah yang sedang dipanen. Ia terlihat mengusap
keringatnya yang masih bercucuran. (Siapa????? Teuku Wisnu? Rizky Nazar? Atau Dude Herlino?? Bukaaaaannn!! Itu Ryan :D)
"Aduhh! Kok ada Ryan sih?" Vio berkata dalam
hati. Ia terlihat gugup dan sedikit malu-malu. (Cieee dari tingkahnya sih,
kayak ada yang lagi jatuh cinta nih :p)
Ketika Ryan melihat Vio dan umminya datang, ia
nampak tersenyum. Ummi pun langsung memisahkan diri membantu ayahnya yang
sedang menumbuk padi.
"Ummi mau kemana?" tanya Vio.
"Ummi mau membantu kakeknya Ryan dulu.
Kalian disini saja."
"Tapi ummi, Vio kan bisa bantu?"
"Gak usah. Temani Ryan saja ya. Kasihan dia
kecapekan."
.........
"Assalamualaikum ukhti. Sudah lama kita
tidak bertegur sapa seperti ini." Ryan memulai pembicaraan.
"Waalaikumsalam akhi. Kan dulu saya sudah
pernah menjelaskan itu semua. Hehe."
(Tumben Ryan memangilnya dengan sebutan ukhti.
Biasanya kan Vio. Wahai pemirsa sekalian, pertanda apakah ini??? )
"Ngomong-ngomong, kamu tahu nomor saya dari
siapa?"
"Oh itu. Kemarin saya memintanya pada Nina.
Kebetulan, pas acara kenaikan kelas kami sempat bertemu di ruang guru."
"Lalu Aisyah dimana? Kenapa dia tidak datang
kesini. Bukankah dia pacarmu?"
(Astaga! Kok jadi nanya gitu sihh?!! Hadeuh,
penyakit keceplosannVio kayaknya udah stadium akhir deh! :p)
"Pacar??? Bukan, dia bukan pacar saya. Memangnya siapa yang bilang
begitu?"
"Emmh.. Maaf! Saya menyimpulkannya sendiri.
Soalnya kalian selalu terlihat bersama."
"Tidak Vio, kami berdua tidak pernah
pacaran. Itu cuman kebetulan saja. Terlebih, ayah saya memang dekat dengan
ayahnya Aisyah. Lagi pula, saya mencintai orang lain."
Senyum yang tadinya mengembang di wajah Vio
perlahan memudar kembali.
"Kalau boleh tahu, siapakah perempuan yang
dicintaimu selama ini?"
Mata Ryan seketika memandang ke arah Vio. Ia pun
berkata : "Perempuan itu adalah kamu, Viona Adelia!"
***
"S...s..ss..Saya?" Vio terkejut.
"Iya, kamu. Apa ada yang salah dengan ucapan
saya barusan?"
"Tapiii..??"
"Kalau begitu, saya minta maaf ."
"Bukan, bukan begitu!"
Ryan lalu berpikir sejenak.
"Atau karena pacaran itu haram?"
Akhirnya Ryan mengerti apa yang Vio maksud. Huhh!
Leganyaaa...
"Naam..."
"Tenang saja, saya gak akan mengajak kamu
pacaran kok.Kalau kita berjodoh, pada akhirnya Allah pasti akan mempersatukan
kita."
Vio tersenyum mendengar ucapan Ryan.
"Oh, iya. Saya mau memberimu sesuatu.
Boleh?"
Ryan menyerahkan sebuah benda yang dibungkus
kertas kado.
"Apa ini?"
"Buka saja. Nanti kamu juga akan
mengetahuinya."
Srreettttt..
"Subhanallah. Bunga Edelweis?" kata Vio
sambil mengeluarkan bunga itu dari bungkusan. Bunga itu nampak lucu karena
ditanam dalam pot kecil.
"Iya. Saya pernah mendengar bahwa bunga ini
melambangkan keabadian cinta. Semoga bunga ini akan selalu mengingatkanmu pada
saya. Hehehe" polos Ryan.
"Oh jadi ceritanya nyogok nih??"
celetuk Vio.
"??????????????"
"Ahahaha..."
Mereka pun tertawa bersama.
"Terima kasih ya Allah. Rencana-Mu sungguh
sangat indah dan sempurna." gumam Vio dalam hati.
*the end*
0 Response to "Terima Kasih"
Post a Comment