Contoh Percakapan dalam Bahasa Inggris (Conversation)


Wili      : “Good morning Venny!”
Venny  : “Good morning Wili. How are you?”
Wili      : ”I’m fine thanks. How about you?”
Venny  : ”I’m fine too. How was your studytour last week?”
Wili      : “That was very amazing. But, I felt so lonely without you.”
Venny  : “I’m sorry. I didn’t go there.”
Wili      : “Why did you cancel?”
Venny  : “Suddenly my body was feeling itch. Certainly, my mother prohibit me to go to Yogyakarta and  finally all of my plan must be canceled.”
Wili      : “Poor you…. But I’m happy to see you again now. Have you recovered?”
Venny  : “Yes, I have. Emmhh, do you have conversations with foreign tourists in there?”
Wili      : “Yes I do. My friends forced me to did it. They want to take a picture with them.”
Venny  : “Are you sure?? Good job my friend. I believe you can do it. Where do they come from?”
Wili      : “Thank you. You are greatly exaggerated! They are come from England, China, and Netherlands.”
Venny  : “I’m so happy to hear that. By the way, how does the Yogya food taste?”
Wili      : “I think it’s not so good. The taste is very tasteless for me. My tangue can’t adapt with their foods.”
Venny  : “Ahahahaha…. Really?”
Wili      : “Yes, of course.”
Venny  : “ I want to ask you, why didn’t you and your friends go to Keraton Yogyakarta and Museum Dirgantara?”
Wili      : “First, we did’nt go to Keraton Yogyakarta because there was a celebration to celebrate prophet Muhammad SAW’s birthday. So the place is closed. And second, we didn’t go to Museum Dirgantara because the day was night.”
Venny  : “Oh, I see. Do you bring souvenirs from Yogya? What are they?”
Wili      : “Yes, I do. There are five clothes, one brem, two hangers and two broochs. Oh, I will give you something. This is it!”
Venny  : “ What a beautiful brooch. Thanks Wili!”
Wili      : “No problem. Emmh…. Is there a homework for today?”
Venny : “ No, there is not. Wili, do you remember Mrs. Nina gave we a task and it must be finished tomorrow?”
Wili      : “ Oh my God. I forgot!”
Venny : “Well, how we do it together this afternoon?”
Wili      : “That’s a good idea. Ok! I’ll give you a call later.”
Venny  : “Ok. I will look forward to your phone call.”
Wili      : “Oh, no. Mr. Maman is coming We must to sit down.”
Venny  : “That’s right. Let’s do it!”

Contoh Kartu Undangan (Birthday Card)

Dear Friends,

I would like to invite you to my birthday party on Sunday, March 22nd, 2012 at 09.00 p.m. The party will take place in my house on Jalan Ahmad Yani at number 102.

Here is warm invitation for you. Come and join the fun to make it a special one.
-Your present is my pleasure-

Sincerely,
Wili

Kisah Cinta Penuh Suri Tauladan


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.

Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?

Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,

“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~

semoga istiqomah, ini memang tidak mudah.

Puisi Untuknya

Aku dan dia satu cerita.
Banyak tawa terukir bersama.
Semangatnya selalu hiasi dunia.
Kuyakin dialah sosok sempurna.

Senyumnya hapuskan sedihku.
Teduhkan raga dan jiwa yang goyah.
Ingin kuraih tangan malaikatnya itu.
Agar kebahagiaan tersenyum padaku.

Tuhan... Ini tentangnya.....
Sanubariku senantiasa memanggil namanya.
Khayalku tak henti isyaratkan dirinya.
Meski ku tahu kami jelas berbeda,
Namun sungguh rasa itu perlahan ada...

Ingin rasanya kutitipkan ia pada-Mu.
Karena kami tak mungkin bersama.
Biarlah rasa ini menyatu dalam hujan.
Terbawa angin menuju seberang.

Terima Kasih


Cewek berkacamata yang satu ini bernama 'Si Jutek' Viona Adelia. Setidaknya itulah julukan yang diberikan oleh teman-teman Vio di sekolah lamanya.
"Whateverlah! Biarpun gue jutek begini, yang penting gue jadi diri sendiri." pikir Vio.
Hari ini adalah hari pertama Vio masuk sekolah baru. Dia pindah karena merasa sudah diabaikan oleh kedua orangtuanya yang super duper sibuk itu. Viona kesal, dan akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama kakek neneknya di Bandung.
"Selain suasana desanya yang gue suka, rasa kekeluargaannya pun masih terjaga. Beda banget sama Jakarta. Sama tetangga satu kompleks pun jarang ada yang kenal. Beuh, parahhh!" (Hehe, maaf pemirsa, Vio ini orangnya agak-agak sewot gimana gitu, peace ya! :p)
Setelah memperkenalkan diri di depan kelas, bu Sinta guru sejarah yang waktu itu sedang mengajar, mempersilahkan Vio duduk sebelah Nina di bangku paling belakang.
"Hai, namaku Nina. Salam kenal." sapa Nina.
"Gue Vio, senang bertemu dengan loe." Mereka terlihat berjabat tangan.
Well, sejauh ini semua berjalan dengan lancar. Tapi, Eng ing eng..!!!!! Masalah mulai muncul ketika pak Hartono masuk ke kelas lalu mengadakan ulangan Matematika. Semua murid protes.
"Pak Hartono emang gitu sifatnya. Semuaaanya serba dadakan. Padahal selama ini kita kan baru belajar 3x sama beliau." keluh Nina.
"Damn! Gue paling gak bisa sama yang namanya mateMATIka, otak gue gak pernah mau kompromi sama mata pelajaran yang satu ini. Please, help me God!!" Vio berdoa.
***
Tepat jam 10.00 bel istirahat berbunyi. Semua kertas ulangan dikumpulkan beserta jawabannya. Pada waktu itu, gak tahu kenapa Viona pengen banget ke perpustakaan. Selain merasa sumpek karena sudah dipastikan dia bakal K.O sama ulangan tadi, mungkin dia kepengen ngisi bahan bakar otaknya kali ya?! Wkwkwk.
Viona mulai mencari rak yang di dalamnya termuat banyak sekali buku-buku karya sastra. Dia mulai membaca intisari buku yang dipegangnya sambil terus menuju ke arah bangku membaca. Saking seriusnya, dia sama sekali tidak memperhatikan sosok indah yang berdiri di depannya. Beuuuhhhh :p
Brukkk!!! Terdengar suara buku terjatuh dari lengan seorang pria. Pria itu kemudian memungutnya.
"Haduuuuuh!!! Bisa ga sih loe gak berdiri ngehalangin jalan gue?" Viona marah.
"Maaf! Maafkan saya." polos si pria tadi.
Viona tak sengaja melihat penampilan pria itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Pria ini terlihat kalem, bersih dan oh ya satu lagi, pinter agama!’. Setidaknya begitulah kesimpulan pertama Viona ketika ia melihat pria itu menggunakan peci berwarna putih. Jarang-jarang ada pria seperti ini, apalagi ini kan SMA, bukan MA. Heheheh
"Kak Ryan ayo kita ke kelas, teman-teman udah pada nunggu." sahut seorang perempuan yang berpakaian serba tertutup dan terlihat anggun itu.
"Oh iya. Saya hampir lupa Aisyah!"  
Kemudian pria itu menatap kembali wajah Viona seraya berkata,
"Emmh.. sekali lagi saya mohon maaf ya? Saya benar-benar tidak sengaja. Assalamualaikum."
Pria itu berlalu bersama perempuan yang bernama Aisyah. Mereka terlihat sangat serasi.
"Waalaikumussalam. Oh jadi yang cowok namanya Ryan, dan cewek yang tadi namanya Aisyah. Ya ampun gue merasa bersalah udah ngebentak dia." pikir Viona.
***
Dua hari kemudian pak Hartono membagikan hasil ulangan perdana murid-muridnya.
"Oh my God, mampus gue!" Viona terlihat resah, gelisah tak menentu (Jhahaha :D lebay!)
"Astaga?! Tuh kannn?? Ramalan gue emang 100% akurat dan berimbang!" Viona terlihat cemberut melihat angka 5 berwarna merah tertera di kertas ulangannya.
"Kamu tuh unik ya Vio, biasanya orang berkacamata itu culun, pendiam atau malah jago Matematika. Lah ini? Nggak sama sekali?! Beruntung, aku punya temen kayak kamu! Sama-sama babak belur karena Matematika. Wkwkwk" ejek Nina.
"Duh segitu parahnyakah gue dimata loe Nin? Hiks :'("
Bukannya simpati, Nina malah tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.
***
Hari itu juga Viona kembali lagi ke perpustakaan setelah bel pulang berbunyi. Dia niat banget buat belajar Matematika disana karena selain banyak sumber, perpustakaan sekolahnya itu baru tutup satu jam kemudian.
Setelah sampai di perpustakaan, Viona langsung tancap gas mengambil lima buah buku Matematika dari penerbit yang berbeda-beda. Dia mulai berkutat dan mencoba menjawab sejumlah soal yang ada di dalam buku-buku tadi. Tapi hasilnya NIHIL! Buku tulisnya hanya penuh dengan coretan gak jelas, garis melengkung kesana kemari dan semua hitungan yang belum selesai! Ada juga gambar yang mungkin bisa disebut pak Hartono dengan ciri khas kumis baplangnya itu. (Wkwkwk, bukannya ngerjain soal malah ngegambar! Otaknya udah mentok kali ya? )
Tiba-tiba seorang pria yang dikenalinya berjalan mendekat ke arah Vio.
"Ya ampun itu kan cowok yang dulu pernah gue marahin! Pasti dia mau bales dendam karena pada waktu itu si Aisyah keburu dateng! Please save me God!" (T-T) Viona tegang.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ryan memulai pembicaraan sambil memperlihatkan senyum manisnya.
"Emmhh.. Gak ada kok! Hehe.." Viona cengengesan.
"Dari tadi saya lihat, kamu terlihat bingung? Kenalin, nama saya Ryan Al-Faraby. Panggil saja saya Ryan."
"Gu..gu..gue Vio. Gue baru pindah kesini tiga hari yang lalu." Viona agak gugup.
"Oh ternyata kamu anak baru ya? Pantes saya gak pernah lihat. Jadi apa masalahnya?"
Mau gak mau Vio harus jujur. Mungkin saja Ryan dapat membantunya kali ini.
"Iya deh gue ngaku. Gue gak bisa ngerjain soal kayak beginian. Gue emang payah!"
Ryan kemudian membaca buku Matematika yang ditunjukan Viona. Dia mengangguk pelan.
"Mudah-mudahan saya bisa bantu. Sini, mana buku tulisnya?"
Viona pun akhirnya menyodorkan buku tulis yang sejak tadi tertindih lengannya sendiri. Seketika itu juga Ryan tertawa geli.
"Ngomong-ngomong ini gambar pak Hartono ya?" tanya Ryan.
"Hehehehehe.... Iii..iya"
"Lucu banget ekspresi mukanya. Hihi"
"Soal itu sih, gak tau kenapa tiba-tiba tangan gue jadi ngegambar kayak gini."
"Haha.. Ya sudah, kita kerjakan dulu soal-soal ini."
***
40 menit kemudian...
"Maaf, perpustakaannya udah mau tutup." salah seorang petugas memberitahukan.
"Sayang banget ya? Padahal otak gue kayaknya mulai ada pencerahan tuh?" Viona sedikit kecewa.
"Kalau kamu mau, gimana kalau kita lanjutin di rumah saya saja?"
"Emang gak apa-apa?"
"Insyaallah, tidak. Ayo?!"
“Ya udah. Btw thanks ya. Loe udah baik sama gue, padahal kan gue udah ngebentak loe kemarin.”
“Sama-sama. Gapapa kok.” jawab Ryan tulus.
Mereka pun mulai membereskan buku-buku yang berceceran di meja, kemudian bergegas pulang ke rumah Ryan.
"Sudah sampai. Assalamualaikum ummi?" Ryan mengetok pintu.
"Waalaikumussalam. Eh ada temennya ya?"
Seorang ibu berpakaian rapi dan berjilbab itu dengan senang hati membukakan pintu.
"Ya ummi. Kenalin dia Vio. Dia siswi baru di sekolahan kami."
"Hallo tante, nama guu.. ehh, nama saya Viona. Heheeh”
"Wah neng Viona ini cantik ya? Kayak Marshanda. Ayo silahkan masuk! Ummi mau ngebuatin teh dulu." sapa ummi ramah.
(Ceilehh.. Vio dibilang mirip Marshanda? Kayaknya si ibu tadi emang doyan sinetron kali ya. Wkwkwk)
Tak lama kemudian dua cangkir teh dan makanan ringan lainnya sudah terhidang di atas meja.
"Maaf, ummi tinggal dulu ya? Ummi ada pengajian di kampung sebelah."
"Ya ummi." sahut Ryan.
"Terima kasih ummi! Hati-hati di jalan." Viona menambahkan.
...............
"Wah udah sore nih, gue harus segera pulang. Kakek dan nenek pasti nyariin. Gue kan gak sempat pamit."
"Saya antar ya? Boleh???"
"Udah gak usah. Takut ngerepotin!"
"Sudahlah, ayo naik?"
Viona dibonceng Ryan dengan menggunakan sepeda. Selama perjalanan, mereka melewati perkebunan teh yang luas dan tentunya pemandangan yang sangaaaat indah. Viona merasa bersyukur masih bisa melihat anugerah Tuhan yang satu ini. ^^
***
Hari Rabu telah datang, pak Hartono masuk ke ruang kelas dengan mimik wajah yang menyeramkan. (Kayak preman yang gak diberi makan 3 hari. Hiiiiii syeremmmm :p)
"Hari ini, bapak akan me-remidi kalian yang nilainya masih di bawah KKM. Buka halaman 20! Sekarang bapak akan panggil kalian secara acak dan kalian harus bisa mengerjakan satu soal yang ada pada halaman tersebut langsung di papan tulis!" pak Hartono menjelaskan aturan mainnya dengan nada yang tinggi.
Setelah itu pak Hartono mulai memanggil murid-muridnya satu-persatu. Sejauh ini dari 15 siswa yang maju, hanya dua orang yang berhasil selamat dan mereka dipersilahkan duduk kembali.
"Viona Adelia. Maju!!"
Suara itu terdengar seperti auman serigala yang siap menerkam dan mengoyak daging mangsanya. (Untung Vio bukan gadis berkerudung merah. Gkgkgk :D)
"Ya Tuhan bagaimana ini?? Gue gak begitu yakin! Bismillahirohmanirohim."
"Coba kerjakan soal nomor 11!"
Viona mulai menulis jawabannya. Hitungan demi hitungan telah berhasil ia selesaikan. Tapi, tetap saja dia gak yakin! Akhirnya dia bergabung dengan teman-teman yang lain sambil mengangkat satu kaki dan menjewer kedua telinganya tanpa diminta langsung oleh pak Hartono.
"Heh! Apa yang kamu lakukan?"
"Oh saya salah ya pak? Trus saya harus berdiri di sebelah mana?"
"Bicara apa kamu ini?" pak Hartono bingung.
"Pak tolong jangan bentak-bentak saya. Saya janji akan lebih giat belajar lagi!" Viona menampilkan ekspresi lucu dengan menutup kedua matanya. Dia tak sanggup memandang kemarahan di wajah pak Hartono.
"Kamu itu gimana sih? Jawaban kamu benar Vio?"
"Haaaaahhh? Yang bener pak?" Viona kaget sekaligus gembira.
"Iya. Sekarang, silahkan duduk kembali."
"Alhamdulilah. Thanks ya Rabb!"
Semua teman sekelasnya menertawakan tingkah laku Vio yang konyol. Bukannya malu, Viona malah senang. Dalam hati ia berjanji akan memberikan sesuatu pada Ryan sebagai tanda terima kasih.
***
Sore harinya Vio sudah siap berkemas. Sebelum pergi, ia berkaca terlebih dahulu di depan cermin. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk mencoba memakai kerudung yang selama ini jarang ia pakai. Entah kenapa setelah kerudung itu menutupi rambutnya, Viona merasa dirinya lebih cantik. Ia pun mulai mencari baju dengan warna yang senada dan rok berwarna hitam.
"Assalamualaikum?" teriak Viona sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam!" ummi pun membuka pintu rumahnya lalu bertanya.
"Neng siapa ya?"
"Saya Viona ummi, teman Ryan yang dulu pernah mampir kesini."
"Subhanallah, ummi jadi pangling liatnya!"
"Hehe, makasih ummi. Emmh, Ryan nya ada?"
"Oh Ryan lagi keluar sama Aisyah. Katanya sih mau nyari serangga buat besok praktikum. Kalau kamu ada perlu nanti biar ummi susul?"
"Oh, gak usah ummi. Vio kesini cuman mau ngasih ini. Vio berterima kasih sekali pada Ryan karena dia sudah membantu Vio belajar Matematika." kata Vio sambil memberikan bungkusan berisi bolu pisang.
"Oh ya terima kasih. Nanti bakal ummi sampaikan ke Ryan."
"Sama-sama ummi. Maaf Vio mau pulang dulu, takut kesorean."
"Iya. Hati-hati Vio!"
Sementara itu,
"Wah serangganya sudah cukup kak! Kita harus segera pulang. Nanti ummi nyariin?" Aisyah menyarankan.
"Iya, tak terasa sebentar lagi matahari akan tenggelam." jawab Ryan.
Ketika melewati rumah penduduk, mereka berpapasan dengan seorang pedagang bunga keliling.
"Pak saya mau beli bunganya?"
"Silahkan jang. Ujang mau pilih yang mana?"
"Ini! Yang ini saja! Berapa harganya?"
"Kalo yang itu harganya 50 ribu."
"Ini uangnya, terima kasih!"
Aisyah lalu bertanya,
"Bunga Edelweisnya buat siapa kak?"
"Buat seseorang yang selama ini dekat sama kakak."
Aisyah tersipu malu. Pipinya merah merona. Dia merasa bahwa hanya dialah yang selama ini selalu berada di samping Ryan.
"Trus kapan kakak akan memberi dia bunga itu?"
"Nanti, di waktu yang tepat."
Aisyah semakin berbunga-bunga. Ia berharap semoga hari itu akan segera tiba :)
***
Setelah kembali ke rumah Vio rehat sejenak. Dia introspeksi diri sambil menatap bayangannya yang terpantul di cermin. Baginya pakaian yang dikenakannya itu jauh lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Dia merasa nyaman dan tentram dengan memakai pakaian yang tertutup. Kemudian Vio meraih hp flipnya yang tergeletak di atas kasur. Ia buka menu kontak di hpnya dan mencari tulisan "Mama". Setelah ditemukan ia langsung menekan tombol call.
"Halo sayang, ada apa?"
"Halo ma. Vio kangen sama mama. Vio ganggu mama kerja gak?"
"Engga sayang, mama udah pulang."
"Emmhh... ma?"
"Ya??"
"Boleh Vio minta sesuatu?"
"Katakanlah. Kamu mau minta apa?"
"Vio mau minta sejumlah uang?"
"Untuk apa?"
"Vio mau memperbaiki penampilan."
"Vio, kamu jangan menghambur-hamburkan uang. Mama gak setuju kalau uang mama dipake buat pergi ke salon."
"Tapi kali ini beda ma!"
"Trus untuk apa?"
"Vio ingin berhijab. Selama ini Vio tidak menjaga aurat Vio dengan sempurna. Vio malu sama Allah SWT"
Mama sejenak terdiam.
"Vio benarkah yang kamu katakan barusan nak?" mama berlinang air mata haru.
"Insyaallah ma. Vio udah niat dari sekarang. Doain Vio juga agar tetap istiqomah."
"Mama bangga padamu nak. Mama akan kirim uang secepatnya. Sekalian mama mau titip uang buat kakek dan nenekmu disana."
"Makasih ya ma. Maaf Vio gak bisa lama-lama. Vio harus ngerjain sesuatu dulu. Gapapa kan ma?
"Iya. Gapapa sayang."
"Met malem ma. Vio sayaaaaaangg banget sama mama. Jangan lupa salam juga buat papa!"
"Met tidur sayang. Mimpi yang indah! Kami berdua akan selalu menyayangi Vio.
“Makasih ma.”
“Iya, sama-sama Vio”
-----------
Tututututt.... Terdengar sambungan telepon terputus.
Vio kemudian duduk di depan laptopnya. Ia terlihat serius mengetik kata demi kata.
"Akhirnya selesai juga. Huaaaaa capek banget!!" Vio menguap sambil menahan rasa kantuknya yang teramat sangat.
"Vio, udah malam! Nanti kamu telat bangun sekolah." kakek menasehatinya.
"Iya kek, ini juga udah kelar. Selamat tidur!"
"Jangan lupa baca doa." tambah kakek
"Siap bos!" :D
Tiga hari kemudian....
"Vio, kamu gapapa?" tanya Nina heran.
"Emang ada yang salah dengan penampilan saya ya?" Vio bingung.
"Tunggu,tunggu. Biasanya kan kalau bicara suka pake 'loe gue loe gue'. Nah lohh, sekarang tumben-tumbenan pake 'saya'? Udah gitu sekarang kamu pakai jilbab."
Mendengar pernyataan seperti itu Vio tersenyum simpul lalu berkata : "Gak ada salahnya kan kalau kita mau berubah menjadi lebih baik?"
“Hehehehe”  Nina menjadi malu mendengar ucapan Vio barusan.
***
Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Ulangan semester genap baru saja selesai. Sebentar lagi Vio akan naik ke kelas XII.
Pagi itu Vio disuruh neneknya berbelanja ke pasar. Tak disangka, Vio ditakdirkan untuk bertemu Ryan disana. (Uuhhh.. So sweet *_*)
"Ciee... Mentang-mentang udah jago Matematika, sekarang jadi jarang silaturahmi ke rumah?" sindir Ryan.
"Emmh..maaf, bukannya gitu. Saya memang gak sempat mampir ke rumah karena akhir-akhir ini saya lebih banyak belajar bareng sama teman-teman." Viona ngeles.
"Oh gitu. Ngomong-ngomong makasih ya kuenya. Rasanya enak banget. Ummi juga sependapat dengan saya."
"Syukurlah kalau begitu. Terima kasih." Vio tersanjung.
"Oh iya. Ummi juga sering nanyain kamu. Katanya, beliau merasa kehilangan kalau kamu gak datang ke rumah."
Tiba-tiba pembicaraan kami terpotong,
"Eh ada kak Ryan!" Aisyah datang menghampiri. Matanya langsung tertuju pada Vio.
"Emmh kamu kan yang dulu marah-marahin kak Ryan waktu di perpustakaan. Wahai ukhti, namamu siapa? Subhanallah, sekarang kamu terlihat lebih cantik setelah mengenakan jilbab."
"Nama saya Viona. Biasa dipanggil Vio. Terima kasih. Aisyah juga makin cantik! Eh, maaf nih saya harus segera pulang."
"Mau saya antar?" Ryan menawarkan.
"Ah tidak usah. Saya bawa sepeda kok. Duluan ya?? Assalamualaikum!"
Aisyah+Ryan : "Waalaikumussalam!"
Selama perjalanan menuju rumah, Vio merasa dirinya aneh. Entah rasa apa yang hinggap di hatinya kala itu. Dia merasa jengkel dan sakit ketika melihat Ryan bersama Aisyah.
"Ya Allah, apa mungkin ini yang dinamakan cemburu?" gumam Vio dalam hati.
***
Tibalah saat hari pelepasan siswa/i kelas XII sekaligus acara kenaikan kelas. Acara tersebut disusun secara apik dan terorganisir oleh para panitia. Ketika menginjak acara inti, pak kepala sekolah mengumumkan beberapa perolehan prestasi yang telah disabet oleh sekolah itu selama setahun terakhir. Dan ternyata nama Vio juga tercantum dalam daftar siswa/i berprestasi tersebut. Ia pernah mengikuti lomba menulis novel yang diadakan salah satu penerbit buku ternama di kota Bandung. Judul karyanya yaitu 'Mengapa Harus Aku?'. Novel ini menceritakan penderitaan yang harus ditanggung oleh anak-anak yang keluarganya broken home sekaligus menyemangati mereka agar tidak mengambil jalan yang salah.
Vio pun diminta naik ke atas panggung untuk menerima piala dan piagam yang diserahkan langsung oleh kepala sekolah. Terlihat dari atas panggung, Ryan tampak tersenyum sambil tepuk tangan menyaksikan keberhasilan teman dekatnya itu. Dan lebih spesialnya lagi, kali ini orang tua Vio juga ikut menghadiri acara tersebut. Wahh, Vio begitu bahagia. Alhamdulilah ^^
***
Sore pun menjelang. Vio dan kedua orang tuanya terlihat lelah usai menghadiri acara tadi. Belum sempat Vio membuka pintu rumah, tiba-tiba hpnya berdering. Ternyata ada sms masuk.
From : 08135153xxxx
Assalamualaikum....
Selamat ya Vio! You're so amazing. ^_^
Oh ya, besok ummi mengundang kamu ke rumah. Jangan sampai gak dateng ya!
Wassalam
-Ryan-
Haah? Ryan?” batin Viona.
Baru kali ini Vio menerima sms dari dia. Setahu Vio, mereka tidak pernah saling menanyakan nomor hp satu sama lain. Vio terlihat agak ragu, tapi pada akhirnya ia pun membalas sms itu.
To : 08535153xxxx
Thanks. :)
Insyaallah besok saya kesana.
***
Hari esok pun tiba, Vio bergegas memenuhi janjinya.
"Assalamualaikum??" Vio mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam. Eh neng Vio! Silahkan masuk!"
Vio pun masuk ke dalam rumah sambil tak lupa mencium tangan umminya Ryan.
"Maaf sebelumnya ummi. Vio cuman mau tanya. Ada perlu apa ya ummi menyuruh saya kesini?"
"Loh, kirain Vio mau ketemu sama Ryan?"
"Enggak kok ummi. Kata Ryan, Vio disuruh kesini oleh ummi."
"Ah masa? Itu hanya akal-akalan Ryan kali."
"Trus sekarang Ryannya dimana?" sahut Vio lugu. (Ih dasar Vio, keceplosan mulu kalau nanya! Ini masalah HARGA DIRI. Wkwk)
"Barusan dia keluar. Gak tahu mau kemana." jelas ummi.
"Oh gitu ya..?" (Tuuhhh kan?! Alhasil, jadi malu sendiri. @_@)
"Neng Vio, bisa bantu ummi gak?"
"Dengan senang hati ummi. Apa yang harus Vio lakukan?"
"Anterin ummi bawa makanan ini ke sawah yu? Kakeknya Ryan lagi panen hari ini."
"Tentu saja ummi. Ayo kita berangkat!" Vio terlihat semangat.
***
Singkat cerita mereka pun tiba di sawah yang mereka tuju. Dari kejauhan, terlihat sesosok pria tampan sedang duduk di samping sawah yang sedang dipanen. Ia terlihat mengusap keringatnya yang masih bercucuran. (Siapa????? Teuku Wisnu? Rizky Nazar? Atau Dude Herlino?? Bukaaaaannn!! Itu Ryan :D)
"Aduhh! Kok ada Ryan sih?" Vio berkata dalam hati. Ia terlihat gugup dan sedikit malu-malu. (Cieee dari tingkahnya sih, kayak ada yang lagi jatuh cinta nih :p)
Ketika Ryan melihat Vio dan umminya datang, ia nampak tersenyum. Ummi pun langsung memisahkan diri membantu ayahnya yang sedang menumbuk padi.
"Ummi mau kemana?" tanya Vio.
"Ummi mau membantu kakeknya Ryan dulu. Kalian disini saja."
"Tapi ummi, Vio kan bisa bantu?"
"Gak usah. Temani Ryan saja ya. Kasihan dia kecapekan."
.........
"Assalamualaikum ukhti. Sudah lama kita tidak bertegur sapa seperti ini." Ryan memulai pembicaraan.
"Waalaikumsalam akhi. Kan dulu saya sudah pernah menjelaskan itu semua. Hehe."
(Tumben Ryan memangilnya dengan sebutan ukhti. Biasanya kan Vio. Wahai pemirsa sekalian, pertanda apakah ini??? )
"Ngomong-ngomong, kamu tahu nomor saya dari siapa?"
"Oh itu. Kemarin saya memintanya pada Nina. Kebetulan, pas acara kenaikan kelas kami sempat bertemu di ruang guru."
"Lalu Aisyah dimana? Kenapa dia tidak datang kesini. Bukankah dia pacarmu?"
(Astaga! Kok jadi nanya gitu sihh?!! Hadeuh, penyakit keceplosannVio kayaknya udah stadium akhir deh! :p)
"Pacar??? Bukan, dia bukan pacar saya. Memangnya siapa yang bilang begitu?"
"Emmh.. Maaf! Saya menyimpulkannya sendiri. Soalnya kalian selalu terlihat bersama."
"Tidak Vio, kami berdua tidak pernah pacaran. Itu cuman kebetulan saja. Terlebih, ayah saya memang dekat dengan ayahnya Aisyah. Lagi pula, saya mencintai orang lain."
Senyum yang tadinya mengembang di wajah Vio perlahan memudar kembali.
"Kalau boleh tahu, siapakah perempuan yang dicintaimu selama ini?"
Mata Ryan seketika memandang ke arah Vio. Ia pun berkata : "Perempuan itu adalah kamu, Viona Adelia!"
***
"S...s..ss..Saya?" Vio terkejut.
"Iya, kamu. Apa ada yang salah dengan ucapan saya barusan?"
"Tapiii..??"
"Kalau begitu, saya minta maaf ."
"Bukan, bukan begitu!"
Ryan lalu berpikir sejenak.
"Atau karena pacaran itu haram?"
Akhirnya Ryan mengerti apa yang Vio maksud. Huhh! Leganyaaa...
"Naam..."
"Tenang saja, saya gak akan mengajak kamu pacaran kok.Kalau kita berjodoh, pada akhirnya Allah pasti akan mempersatukan kita."
Vio tersenyum mendengar ucapan Ryan.
"Oh, iya. Saya mau memberimu sesuatu. Boleh?"
Ryan menyerahkan sebuah benda yang dibungkus kertas kado.
"Apa ini?"
"Buka saja. Nanti kamu juga akan mengetahuinya."
Srreettttt..
"Subhanallah. Bunga Edelweis?" kata Vio sambil mengeluarkan bunga itu dari bungkusan. Bunga itu nampak lucu karena ditanam dalam pot kecil.
"Iya. Saya pernah mendengar bahwa bunga ini melambangkan keabadian cinta. Semoga bunga ini akan selalu mengingatkanmu pada saya. Hehehe" polos Ryan.
"Oh jadi ceritanya nyogok nih??" celetuk Vio.
"??????????????"
"Ahahaha..."
Mereka pun tertawa bersama.
"Terima kasih ya Allah. Rencana-Mu sungguh sangat indah dan sempurna." gumam Vio dalam hati.

*the end*